Bertempat di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau lebih dikenal dengan Kang Aher di dapuk menjadi penceramah dalam acara Halal bi Halal yang diselenggarakan keluarga besar UIN Jakarta. Tak disangka, seorang pejabat pemerintah sangat lancar dalam berceramah bahkan sesekali mengutip dalil-dalil AlQuran dan Hadis yang dilafalkan secara lancar dan fasih. Rektor UIN Syarif Hidayatullah bahkan tak segan menyebut Kang Aher sebagai sosok kyai yang pejabat atau pemimpin yang santri sehingga sepak terjangnya sebagai seorang pemimpin patut diteladani dan diikuti oleh masyarakatnya. Mungkin tidak banyak seorang pejabat pemerintah apalagi sekelas gubernur yang terbiasa berceramah bahkan terbiasa menjadi khatib pada setiap Sholat Jumat, selain diantaranya Kang Aher ini.
Banyak hal yang menarik dan patut direnungkan dalam lawatan gubernur Jawa Barat ini ke UIN Jakarta, diantaranya Kang Aher menjabarkan tentang bagaimana kampus seharusnya menjadi lokomotif dalam memajukan peradaban dunia. Aher memaparkan cerita bagaimana Jepang justru saat ini justru menjadi “Macan Asia” karena peradabannya disebut paling maju diantara negeri-negeri di wilayah Asia lainnya. Padahal, Jepang pernah porak-poranda oleh kondisi Perang Dunia Kedua akibat serangan Sekutu yang meluluh-lantakkan Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kehancuran Jepang akibat perang tidak membuat surut semangat Kaisar Hirohito waktu itu. Beberapa saat setelah pengeboman dua kota di Jepang,
Hirohito kemudian bertanya kepada para bawahannya, berapa jumlah guru yang masih hidup? Yang dipikirkan oleh Kaisar justru adalah guru dan tenaga pendidik karena merekalah yang nanti akan membangun Jepang bangkit dari kehancuran, bukan harta yang tersisa, senjata yang masih ada atau berapa jumlah tentara yang masih hidup. Kepedulian terhadap kualitas pendidikan masyarakat adalah hal utama dalam membangun sebuah peradaban dalam suatu entitas bangsa. Dari sinilah kemudian Jepang bangkit sebagai sebuah bangsa maju karena pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban baru.
Bagi Aher, pendidikan merupakan aset terpenting dan modal utama dalam membangun sebuah peradaban yang maju. Dia menyebut, bahwa Jawa Barat setiap tahunnya kurang lebih dibangun Ruang Kelas Baru (RKB) yang terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 saja, Pemerintah Provinsi Jawa Barat berhasil membangun sekitar 6000 RKB yang diprioritaskan untuk pendidikan pada tingkat dasar dan menengah.
embangunan RKB diharapkan dapat menyelesaikan masalah pendidikan yang tidak merata di Indonesia. Aher bahkan menyebutkan hanya DKI Jakarta dan Yogyakarta yang tingkat pendidikan masyarakatnya 95 persen selesai pada level menengah ke atas, sedangkan di wilayah lain tingkat pendidikan masyarakatnya masih jauh dibawah rata-rata tingkat partisipasi pendidikan secara nasional.
Secara statistik, Provinsi Jawa Barat hanya menempati urutan ke 29 dari 33 provinsi dalam rentang usia masyarakat antara 19-24 tahun yang mengenyam pendidikan formal. Ini berarti hanya 16 persen saja penduduk Jawa Barat yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi pada tahun 2012 tersebut. Kekhawatiran inilah yang membuat Pemprov Jawa Barat terus menggenjot pembangunan fasilitas pendidikan agar dapat bersaing secara nasional sekaligus membangun sebuah masyarakat yang lebih berperadaban.
UIN merupakan perguruan tinggi yang mampu memadukan sekaligus dua kutub keilmuan, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dengan mengutip pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Aher menyebutkan bahwa membangun sebuah peradaban perlu dengan dua hal, yaitu al-‘ulum dan al-funun. Yang disebut pertama merupakan istilah sumber keilmuan yang di ekstrak dan digali dari wahyu Tuhan, terutama dari AlQuran. Kandungan yang ada dalam sumber ini akan meningkatkan kekuatan rohani karena akan mengajarkan seluruh kebaikan hidup, yang akan membentuk karakter dan moralitas sebuah bangsa. Sedangkan model kedua merupakan keilmuan yang bersumber dari fenomena-fenomena dan gejala alam yang dapat dipelajari. Model inilah yang kemudian membentuk banyak disiplin ilmu, seperti ekonomi, sosial, politik, sains dan teknologi yang kesemuanya bersumber dari gejala alam dan kehidupan masyarakat. Jika kedua kutub ini dapat dipertemukan, maka bisa dipastikan sebuah peradaban (hadlarah shahihah) yang besar tentu akan lahir. Di Indonesia, kedua kutub ini kemudian dikenal dengan istilah Imtak dan Iptek.
UIN sebagai sebuah perguruan tinggi yang mampu memadukan dan mengharmonisasikan dua kutub kelimuan yang berbeda ini seharusnya mampu menjadi mercusuar bagi terbangunnya peradaban Islam dunia. Pertemuan dua kutub ini memang tidak dapat ditemukan di perguruan tinggi lainya, kecuali hanya di UIN, karena memang model kurikulumnya mengakomodasi kedua kutub bangunan besar keilmuan dan pendidikan.
Sampai saat inipun bangunan besar peradaban masyarakat dunia masih tetap cenderung kedalam dua kutub, meskipun sama-sama dibangun atas dasar Kapitalisme, yaitu Kaptalisme yang materialistik dan Kapitalisme yang realistik. Jika lebih dikerucutkan lagi, dunia kehidupan manusia sesungguhnya hanya berada pada dua kutub, mereka yang lebih mementingkan materi dan mereka yang gandrung terhadap kehidupan immateri. Kedua kutub ini jika dipadukan akan menghasilkan keserasian dan keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat. Inilah yang sebenarnya yang dimaksud perlu ada keseimbangan dalam hidup, tidak terlalu memuja hal-hal yang sifatnya duniawiyah (imanen) juga tidak melupakan hal-hal yang bersifat ukhrowiyah (transenden).
Ada sebuah dialog yang menarik yang diceritakan BJ Habibie kepada para mahasiswa Indonesia di Mesir pada tahun 2013 lalu. Habibie pada waktu itu melontarkan sebuah perumpamaan ketika berdialog dengan mahasiswa Indonesia disana. Petikan dialog tersebut kira-kira seperti : “Jika Allah memanggilku dan bertanya padaku, wahai Habibie pilihlah salah satu dari pilihan ini. Mana yang kau pilih antara Ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) atau iman dan takwa(Imtak).
Maka dengan seketika saya menjawab Imtak, namun ternyata Allah memberikan dua keistimewaan itu pada saya”. Habibie dikenal sebagai tokoh intelektual muslim Indonesia yang mumpuni dalam bidang sains dan teknologi dan telah diakui secara internasional. Tetapi, Habibie justru lebih mengharapkan Imtak daripada Iptek, meskipun Tuhan pada akhirnya menganugrahkan keduanya, yaitu Imtak dan Iptek dalam diri Habibie.
Untuk itu, membangun sebuah peradaban maju dalam sebuah bangsa tidak harus terfokus kepada hal-hal yang bersifat materialistik, tetapi harus dijalankan beriringan dengan pembangunan kualitas masyarakatnya melalui pendidikan yang terarah. Pendidikan adalah poros utama dalam hal peradaban manusia, tanpa pendidikan yang memadai, entitas sebuah bangsa hanya akan terpuruk, terbelakang atau cenderung menjadi “pengekor” kepada perdaban bangsa lainnya yang lebih maju. Dulu, Korea Selatan peradabannya tertinggal dengan Indonesia pada masa-masa awal 1990-an, tetapi kini, Korea Selatan justru bangkit menuju peradaban lebih maju dibanding negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Indonesia saat ini tingkat pendidikan masyarakatnya jauh dibawah Korea Selatan, bahkan saat ini tingkat pendidikan masyarakat di Korea Selatan melampaui Jepang, Singapura dan Hongkong.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H