Fenomena pasca lebaran ini tentunya hampir diseluruh tingkatan masyarakat, senantiasa menggelar acara Halal bi Halal. Kegiatan ini bisa berlangsung mulai dari tingkat keluarga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi bahkan sampai level negara/nasional. Ritualitas yang dilakukan masyarakat ini merupakan tradisi yang juga entah sejak kapan dimulainya.
Ada beberapa informasi yang tersebar bahwa konon kegiatan halal bi halal sudah dilakukan sejak abad ke 17 oleh Pangeran Mangkunegara yang memulai menggelar acara ini di istana kerajaannya. Namun demikian, halal bi halal merupakan tradisi Islam Indonesia yang sudah mengurat-akar dalam masyarakat yang sudah membudaya selama berabad-abad lamanya. Islam Indonesia memang mewarisi banyak tradisi yang masih diabadikan bahkan sampai saat ini.
Melihat dari akar katanya, halal bi halal berasal dari bahasa Arab yang jika ditejemahkan kurang lebih bermakna, “bermaaf-maafan” karena makna “halal” disini adalah “memaafkan” bukan halal dalam pengertian “dibolehkan” yang dipertentangkan dengan kata “haram” yang berarti “dilarang”. Padahal, tradisi saling meminta maaf sudah dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia bahkan sebelum menjelang masuk bulan Ramadhan dan juga datangnya Idul Fitri.
Tetapi, masyarakat nampaknya tidak begitu puas, jika konteks bermaafan hanya dilakukan saat Ramadhan dan Idul Fitri saja, sehingga halal bi halal merupakan tradisi tahunan bermaaf-maafan yang secara tradisi tampaknya sudah “dilegalkan” sehingga menjadi rutinitas yang berlangsung berabad-abad. Tradisi baik dalam masyarakat seperti ini seringkali dipermasalahkan oleh sekelompok orang tertentu sebagai bentuk “penyimpangan” dalam ajaran Islam, karena Islam dalam sejarahnya tidak pernah mengenal istilah halal bi halal seperti yang marak digelar pasca lebaran di Indonesia.
Secara kultural, Islam Indonesia memang bercirikan oleh semarak rutinitas dan ritualitas budaya, bahkan tidak tanggung-tanggung, ritualitas dalam masyarakat Muslim Indonesia telah dilakukan sejak seseorang itu dalam kandungan ibunya, kelahirannya dan pemberian nama, khitanan, pernikahan hingga kematiannya penuh dengan aktivitas ritual keagamaan yang sudah menjadi budaya. Justru inilah sebuah kekayaan budaya yang tidak akan pernah dijumpai di negara manapun, kecuali di Indonesia.
Budaya masyarakatnya penuh dengan aktivitas seremonial dan ritual yang diwariskan secara turun-temurun sehingga menjadi ciri khas kepribadian bangsa dan sulit tergantikan oleh hal apapun. Tidak ada yang salah dengan budaya, karena budaya dibangun oleh nilai-nilai dan norma yang melingkupi lingkungan masyarakatnya. Nilai-nilai dan norma tersebut bisa berasal dari kepercayaan, agama, adat-istiadat atau kebiasaan yang diwariskan dari para pendahulu-pendahulu sebelumnya.
Dalam tradisi Islam Indonesia, ritual halal bi halal kemungkinan diambil dari sebuah riwayat yang berasal dari Imam Bukhori tentang perintah Nabi Muhammad agar setiap Muslim yang merasa telah berbuat dzalim agar meminta “kehalalan” (permintaan maaf) kepada saudaranya. Kata “halal” tersebut kemudian dimodifikasi secara kultur menjadi “halal bi halal” sehingga menjadi istilah umum yang sampai saat ini dipergunakan sebagai rutinitas masyarakat di Indonesia dalam rangka bermaaf-maafan secara formal setelah lebaran.
Sejatinya, tradisi halal bi halal dalam bentuk lain memang sudah disebutkan dalam sejarah Islam dan bahkan kitab suci AlQuran menyebutkan bahwa memberikan maaf kepada sesama merupakan ciri orang bertakwa (QS.3:134). Dengan demikian, tradisi halal bi halal yang dilakukan di Indonesia memang mengambil langsung dari rujukan awal Islam, yaitu AlQuran dan Sunnah.
Pemaknaan terhadap peringatan halal bi halal semestinya tidak hanya sebatas seremonial semarak yang dilakukan berbagai level dalam masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah ajaran luhur yang dikandungnya sudah semestinya dipraktekkan oleh semua manusia, khususnya umat Muslim di Indonesia. Fenomena belakangan ini adalah banyak ritual dan tradisi Islam yang berhenti sebatas seremonial tanpa penghayatan lebih dalam apalagi mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Umumnya, banyak Muslim yang lebih mengejar kesalehan individual ketimbang kesalehan sosial, sehingga yang terjadi adalah banyak negara-negara muslim termasuk Indonesia yang banyak mempraktekkan ritualitas tanpa aktualitas. Ajaran Islam yang luhur justru “gagal” membudaya dalam masyarakatnya yang tersisa hanyalah praktek seremonial belaka.
Budaya masyarakat di negara-negara mayoritas muslim justru cenderung tidak Islami ketika dihadapkan dengan negara-negara Barat yang sekuler yang malah terkesan Islami. Inilah yang kemudian menjadi kegelisahan Muhammad Abduh ketika tinggal di Perancis sekitar abad 19. Abduh menyatakan,”I want to the west and saw Islam, but no Muslims; I got back to the east and saw just Muslims, but no Islam”.
Bahkan ada sebuah penelitian yang menguatkan pandangan Abduh yang dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari bahwa banyak negara mayoritas Muslim menampilkan hasil yang jauh dari ekspektasi kita sebagai Muslim. Dari 208 negara yang disurvei, ada 56 negara anggota OKI yang tak ada masuk 10 besar.
Indonesia hanya mampu berada pada urutan ke 140 diantara negara yang tidak mencerminkan Islam, diukur melalui indikator yang berbasiskan AlQuran dan Hadis yang dikelompokkan kedalam lima aspek, yakni hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik dan sosial, sistem perundang-undangan dan pemerintahan, HAM dan politik, hubungan internasional dan masyarakat non-muslim.
Indonesia sesungguhnya merupakan negara yang kaya akan budaya, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang bercermin pada kultur adiluhung. Budaya ini sarat dengan nilai-nilai ajaran agama dan norma masyarakat yang dibangun secara kuat dan mengakar dalam masyarakat. Hanya masalahnya, nilai-nilai dan norma hanya dipraktekkan pada tataran seremonial tanpa penghayatan dan aksi secara nyata dalam kehidupan sosial, sangat bertolak belakang dengan aktualisasi masyarakat non-muslim di Barat yang mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan yang dianutnya.
Maka tidak heran, kenapa praktek korupsi justru lebih berkembang pada masyarakat agamis dibanding dengan masyarakat sekuler. Hal ini disebabkan, nilai-nilai agamis tidak terserap kedalam batin masyarakatnya dan tidak teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ritual agama dan budaya bak membangun istana pasir di pinggir pantai, ketika ombak datang hancurlah bangunan itu.
Disinilah pentingnya, bahwa sebuah ritualitas tidak berhenti pada tataran seremonial, seperti kegiatan halal bi halal yang senantiasa dilakukan dari tahun ke tahun tetapi tidak berdampak apapun terhadap perubahan masyarakat. Setiap ritual yang mengandung nilai dan ajaran yang baik semestinya terus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan lebih banyak melahirkan pribadi-pribadi yang lebih mengejar kesalehan sosial bukan keutamaan secara individual.
Bukankah Nabi Muhammad pernah mengajarkan bahwa sesorang tidak berguna kecuali dia bisa bermanfaat untuk orang lain? Memberi manfaat berarti tidak membuat takut orang lain, tidak berbuat dzalim, tidak merusak lingkungan, tidak korupsi dan apapun tindakan yang tidak merugikan orang lain secara umum. Hayatilah makna halal bi halal tidak sekadar bermaaf-maafan antarsesama tetapi lebih jauh dari itu, berbuat baik dan memberikan manfaat untuk sesama.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H