Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Halal bi Halal Jangan Sekadar Seremonial

13 Juli 2016   10:17 Diperbarui: 13 Juli 2016   15:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahkan ada sebuah penelitian yang menguatkan pandangan Abduh yang dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari bahwa banyak negara mayoritas Muslim menampilkan hasil yang jauh dari ekspektasi kita sebagai Muslim. Dari 208 negara yang disurvei, ada 56 negara anggota OKI yang tak ada masuk 10 besar. 

Indonesia hanya mampu berada pada urutan ke 140 diantara negara yang tidak mencerminkan Islam, diukur melalui indikator yang berbasiskan AlQuran dan Hadis yang dikelompokkan kedalam lima aspek, yakni hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik dan sosial, sistem perundang-undangan dan pemerintahan, HAM dan politik, hubungan internasional dan masyarakat non-muslim.

Indonesia sesungguhnya merupakan negara yang kaya akan budaya, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang bercermin pada kultur adiluhung. Budaya ini sarat dengan nilai-nilai ajaran agama dan norma masyarakat yang dibangun secara kuat dan mengakar dalam masyarakat. Hanya masalahnya, nilai-nilai dan norma hanya dipraktekkan pada tataran seremonial tanpa penghayatan dan aksi secara nyata dalam kehidupan sosial, sangat bertolak belakang dengan aktualisasi masyarakat non-muslim di Barat yang mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan yang dianutnya. 

Maka tidak heran, kenapa praktek korupsi justru lebih berkembang pada masyarakat agamis dibanding dengan masyarakat sekuler. Hal ini disebabkan, nilai-nilai agamis tidak terserap kedalam batin masyarakatnya dan tidak teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ritual agama dan budaya bak membangun istana pasir di pinggir pantai, ketika ombak datang hancurlah bangunan itu.

Disinilah pentingnya, bahwa sebuah ritualitas tidak berhenti pada tataran seremonial, seperti kegiatan halal bi halal yang senantiasa dilakukan dari tahun ke tahun tetapi tidak berdampak apapun terhadap perubahan masyarakat. Setiap ritual yang mengandung nilai dan ajaran yang baik semestinya terus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan lebih banyak melahirkan pribadi-pribadi yang lebih mengejar kesalehan sosial bukan keutamaan secara individual.

Bukankah Nabi Muhammad pernah mengajarkan bahwa sesorang tidak berguna kecuali dia bisa bermanfaat untuk orang lain? Memberi manfaat berarti tidak membuat takut orang lain, tidak berbuat dzalim, tidak merusak lingkungan, tidak korupsi dan apapun tindakan yang tidak merugikan orang lain secara umum. Hayatilah makna halal bi halal tidak sekadar bermaaf-maafan antarsesama tetapi lebih jauh dari itu, berbuat baik dan memberikan manfaat untuk sesama.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun