Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kupatan dan Tradisi Hari Ketujuh Lebaran

12 Juli 2016   11:07 Diperbarui: 12 Juli 2016   11:30 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sebagian wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur, lebaran tidak hanya diramaikan oleh datangnya tanggal 1 Syawal saja, tetapi akan berlanjut keramaiannya setelah tujuh hari lebaran. Dalam tradisi oral, hari ketujuh lebaran ini dinamakan “Kupatan” atau “Syawalan”. Entah sejak kapan tradisi ini muncul, tetapi kearifan lokal ini tetap terjaga ditengah arus globalisasi dan modernisasi seperti saat ini. 

Masyarakat Jawa meyakini, bahwa tradisi Kupatan mempunyai makna yang dalam terhadap upaya pembentukan dan penguatan masyarakat karena didalamnya terdapat tradisi saling tatap muka, berkumpul, saling memohonkan maaf yang seakan-akan jika tradisi ini dilewatkan, tatanan masyarakat akan runtuh, tercela, atau bahkan tidak akan mendapat keberkahan dari Tuhan.

Konon, tradisi ini sudah diperkenalkan sejak jaman Wali Songo yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kharismatis yang berjasa mengislamkan Tanah Jawa. Istilah “kupat” sendiri, konon katanya, merupakan kependekan dari “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) yang dibungkus sedemikian rupa dengan janur. 

“Janur” sendiri merupakan istilah yang dimodifikasi oleh para Wali Songo dari bahasa arab, “ja’annuur” (telah datang cahaya) karena ketika seseorang senantiasa mengakui kesalahan-kesalahannya, maka hatinya akan diisi oleh cahaya kebaikan yang diberikan oleh Tuhan.

 Lebaran sejatinya berintikan saling memohonkan maaf antara sesama sehingga diharapkan setiap manusia sudah terbebas dari segala kesalahan yang diperbuatnya, baik memohon maaf secara vertikal kepada Tuhan, maupun horizontal kepada sesama manusia.

Dalam Tradisi Kupatan, masyarakat Jawa akan saling berkunjung dan bersama-sama memakan ketupat yang diolah dengan sayur khas bernama “olah petis” dengan aroma pedas. Olah Petis ini dibuat dari olahan tempe dan telor ayam dengan rempah-rempah sehingga membentuk warna kuning yang menggoda seperti olahan masakan padang. 

Namun demikian, makanan khas lebaran ketujuh ini hanyalah simbolik yang dijadikan makanan khas saat lebaran saja, bukan tujuan utama dari tradisi Kupatan itu sendiri. Dalam kultur Jawa, penguatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang dibawa secara turun-temurun oleh masyarakatnya sulit tergantikan oleh bentuk apapun, meskipun era gadget dan komputerisasi telah mampu menggeser budaya komunikasi manual.

Disinilah letak kekuatan sebuah tradisi, dia tetap terjaga menjadi budaya yang tak pernah lekang oleh waktu karena di dalamnya mengandung banyak sekali unsur kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Jika melihat kepada jatuhnya tradisi Kupatan pada hari ketujuh lebaran, sangat dimungkinkan oleh angka 7 dalam tradisi Jawa yang dianggap mistis. Angka 7 memang merupakan angka dengan sebutan lain dalam bahasa Jawa, yaitu “pitu”. Pitu sendiri konon katanya merupakan kependekan dari kata “pitulungan” (pertolongan) sehingga masyarakat Jawa meyakini hari ketujuh merupakan hari dimana manusia mengharapkan datang pertolongan pada hari tersebut, baik pertolongan dari sesama manusia terlebih pertolongan yang datang dari Tuhan. 

Namun, dalam ajaran Islam terdapat ritual puasa sunnah yang dilakukan setelah Ramadhan yaitu selama enam hari setelah tanggal 1 Syawal, maka hari ke tujuh umat Islam sudah benar-benar tidak lagi menjalani puasa, maka diadakanlah tradisi Kupatan sebagai bentuk kegembiraan setelah melewati puasa Ramadhan maupun puasa enam hari di bulan Syawal.

 Sehingga jika dilihat, tradisi ketujuh setelah lebaran bukanlah sebuah kebetulan, tetapi sangat bersinggungan dengan tradisi lokal dan ajaran Islam. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, ajaran Islam dan kultur setempat dapat bersinergi secara baik, tanpa harus ada pertentangan atau benturan antara keduanya.

Entah kebetulan ataupun tidak, ternyata angka 7 juga menjadi ritual sekaligus angka yang telah ditentukan oleh Tuhan. Lihat saja misalnya, dalam kitab suci AlQuran, Tuhan menciptakan 7 lapis langit, surat Al-Fatihah yang menjadi dasar paling utama dalam ajaran Islam terdiri dari 7 ayat, Thawaf dalam ibadah haji juga dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran atau pelaksaan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dilakukan 7 kali, dan mungkin masih banyak hal-hal yang dilakukan dengan jumlah 7 kali dalam ritual agama Islam. Dalam tradisi Jawa, banyak sekali perumpamaan-perumpamaan atau ritual-ritual yang dilakukan dengan mengambil kepada makna angka 7 yang diyakini lebih sakral dibanding angka-angka lainnya.

Inilah yang menjadikan Islam di Indonesia cukup unik dan berbeda dengan umat Islam lainnya di negara-negara manapun. Ada sekelompok umat Islam di tanah air yang sangat akomodatif terhadap kearifan budaya lokal, yaitu mereka yang memiliki afiliasi dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU). NU diyakini sebagai kelompok terbesar umat Islam di Indonesia yang setia menjaga dan memodifikasi setiap kegiatan ritual yang berasal dari budaya lokal. Sehingga wajar, ketika para peneliti Islam Indonesia menyematkan istilah Islam Tradisional kepada kelompok NU karena mampu menjaga dan mewarisi tradisi lokal yang disesuaikan dengan ajaran Islam. 

NU bahkan belakangan ini lebih tegas dengan memberikan label “Islam Nusantara” terhadap ajaran Islam yang berkembang di Indonesia yang membedakan dengan sejarah dan tradisi Islam awal yang berkembang di wilayah Timur Tengah. Konsep Islam Nusantara senantiasa digaungkan NU sebagai bentuk akomodatif terhadap beragam kearifan lokal yang bersifat baik dan memiliki manfaat serta tidak bertentangan secara langsung dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Saya kira, tradisi Kupatan yang dibangun dan dijalankan secara turun-temurun dalam kultur masyarakat Jawa merupakan tradisi yang baik yang dapat memperkokoh nilai-nilai luhur kebangsaan dan kenegaraan.  Bagaimana tidak, persatuan dan kesatuan bangsa justru akan lebih kuat jika melebur dalam suatu tradisi silaturrahim yang dipraktekkan secara terus menerus, seperti halnya tradisi Kupatan. Tradisi yang menjadi “lebaran kedua” dalam masyarakat Jawa ini sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ajaran pokok agama Islam yang memerintahkan untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan justru abadi dalam tradisi Kupatan tersebut.

 Sulit dibayangkan ketika tradisi ini justru tercerabut dari akarnya, mungkin kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan tidak akan pernah kita temui lagi. Islam mengajarkan untuk saling memperkuat antarunsur individu, kelompok dan masyarakat di dalamnya dalam sebuah bingkai berbangsa dan bernegara. 

Negara ini akan kuat jika didukung oleh sinergi antarelemen masyarakatnya dan ini harus didukung oleh budaya saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Penghormatan dan penghargaan terhadap tradisi-lah salah satunya cara dalam membangun keutuhan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun