Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Jokowi dan Menteri-menterinya Berzakat

1 Juli 2016   10:26 Diperbarui: 1 Juli 2016   14:11 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puasa dan Zakat seakan merupakan dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa dipisahkan. Di setiap akhir di bulan Ramadhan, umat Muslim mulai menghitung hartanya untuk ditetapkan berapa nilai zakat yang harus mereka keluarkan. Sejatinya, zakat yang akan dikeluarkan oleh setiap Muslim yang telah mencapai nishab (nilai minimal jumlah harta yang wajib dizakatkan) hanyalah zakat maal dan zakat fithrah

Zakat maal akan dihitung sesuai dengan ketentuan agama Islam, yaitu jumlah harta seseorang telah mencapai minimal seukuran 86 gram emas, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 persen. Sedangkan zakat fithrah merupakan kewajiban semua umat Muslim yang mampu agar memberikan makanan pokok kepada fakir miskin dengan ukuran 3,5 liter beras. Pembayaran zakat di akhir Ramadhan telah menjadi paket tersendiri di Indonesia dan baru-baru ini juga dilakukan pemerintahan Jokowi-JK.

Adalah fenomena baru, dimana zakat dibayarkan secara massal dengan memanggil petugas zakat untuk standby di Istana Negara dan seluruh menteri serta pejabat di lingkungan kementrian dihimbau agar membayarkan zakatnya melalui petugas yang telah disediakan. Para muzakki (wajib zakat) bisa berkonsultasi terlebih dahulu mengenai jumlah harta yang dimilikinya dan berapa nilai zakat yang akan dikeluarkan seharusnya. Saya kira ini merupakan terobosan baru dalam berzakat dimana Presiden Jokowi memanggil petugas zakat ke Istana dan memerintahkan para menterinya agar dapat menyalurkan zakatnya kepada petugas zakat yang telah ditunjuk. 

Pengkoordiniran seperti ini paling tidak, menumbuhkan kesadaran mereka yang sudah wajib zakat untuk segera membayarkan zakatnya. Zakat yang terkumpul dari para wajib zakat akan disalurkan kepada beberapa golongan masyarakat yang kurang mampu di seluruh Indonesia. Mekanisme penyaluran zakat kepada para mustahiq (yang berhak) akan dikaji terlebih dahulu oleh Tim Baznas agar zakat yang diterima masyarakat bisa lebih produktif, tidak konsumtif.

Pemerintah memang harus memulai melakukan gerakan zakat bersama atau bila perlu ada sangsi yang tegas jika pejabat-pejabat muslim di pemerintahan tidak taat membayar zakat. Sama halnya ketika pemerintah memberikan sangsi kepada pengusaha-pengusaha yang mangkir dalam membayar pajak. Sejatinya, zakat dan pajak memiliki unsur kesamaan, baik dalam hal proses pembayarannya maupun penyalurannya. 

Zakat dan pajak sama-sama disalurkan untuk kondisi-kondisi “yang membutuhkan” baik untuk pembangunan infrastruktur, pembayaran gaji, bantuan sosial atau bantuan-bantuan lainnya yang bersifat kemasyarakatan dan peningkatan kemanusiaan, baik pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Inisiatif yang dilakukan pemerintahan saat ini dalam pembayaran zakat, seharusnya juga diikuti oleh instansi-instansi lain agar kesadaran umat Muslim membayar zakat semakin besar.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, tetapi kesadaran umat Muslim dalam hal membayar zakat lebih sedikit dibanding mereka membayar pajak. Padahal, keduanya sama merupakan kewajiban dan keduanya dapat berdampak langsung terhadap pembangunan sosial kemasyarakatan. Baznas dan IPB pernah melakukan penelitian mengenai potensi zakat nasional dan Indonesia merupakan negara yang potensi zakatnya amat besar. 

Tahun 2015 saja, potensi zakat yang dapat terkumpul secara nasional mencapai 286 triliun. Tetapi, realisasi penghimpunan dan pengumpulan zakat masih sangat rendah karena dana yang berhasil dihimpun oleh seluruh lembaga zakat, baik nasional maupun swasta, hanya mampu meraih 3,7 triliun atau hanya 1,3 persen dari potensinya. Hal inilah yang seharusnya terus didorong oleh pemerintah agar perolehan zakat paling tidak bisa memenuhi 50 persen dari potensi yang tersedia.

Jika zakat dapat dikelola secara profesional dan tersalurkan secara merata kepada mereka yang membutuhkan, maka secara otomatis zakat akan mengurangi jumlah kemiskinan di negeri ini. Fenomena kemiskinan yang terus menerus menghantui berbagai daerah di Indonesia, seharusnya dapat ditekan dan diselesaikan melalui potensi zakat yang maksimal terkumpulkan. Yang jadi persoalan adalah kurang sadarnya kaum Muslim untuk membayar zakat yang semestinya mereka mampu dan wajib membayarkannya. 

Membayar zakat dalam termonologi Islam merupakan “saluran pembuangan kotoran” dari harta-harta yang menumpuk dan dimiliki seorang Muslim, karena dari setiap harta yang dimiliki, ada hak fakir-miskin dan kaum dhuafa didalamnya. Mengeluarkan zakat, sama halnya dengan “membuang kotoran” sehingga harta yang kita miliki kembali bersih dan akan lebih bermanfaat dalam penggunaannya.

Melakukan pembayaran zakat memang lebih utama diberikan langsung oleh wajib zakat kepada orang-orang membutuhkan, namun terkadang pemberian ini pada akhirnya bersifat konsumtif. Harta atau uang yang diberikan kepada yang membutuhkan cenderung dipakai untuk memenuhi kebutuhannya sesaat tidak akan bertahan lama, sehingga zakat-zakat yang disalurkan langsung hanya dapat membantu pada saat itu dan kurang memiliki nilai kemanfaatan untuk masa-masa berikutnya. Disinilah perlunya membangun lembaga zakat yang profesional, jujur dan kuat bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat sehingga dapat menyalurkan model-model zakat yang lebih produktif dan bernilai jangka panjang.

Keberadaan Baznas di Istana Negara yang digagas oleh Jokowi, paling tidak telah menunjukkan adanya upaya serius pemerintah dalam menyadarkan kaum Muslim agar mau berzakat dan pengelolaannya diserahkan secara profesional kepada lembaga zakat. Karena harta zakat berasal dari harta yang bersih, maka dalam pengelolaannya hingga penyalurannya kepada yang paling berhak pasti lebih bersih dan cenderung menjauhi unsur-unsur koruptif didalamnya. 

Karena sifatnya yang bersih, bantuan apapun bentuknya yang berasal dari zakat pasti akan menimbulkan kemanfaatan jangka panjang dan maslahat untuk umat. Mungkin akan berbeda jika bantuan atau hasil pembangunan yang didanai oleh pajak. Saya sangat apresiasi kegiatan membayar zakat berjamaah yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK yang baru kali ini digelar di Istana Negara. Semoga kegiatan zakat berjamaah ini terus dilakukan setiap tahunnya dan lebih banyak menjaring para wajib zakat dari tahun ke tahun.

Wallahu a’lam bisshawab  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun