Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Kefakiran Menjelang Idul Fitri

29 Juni 2016   13:49 Diperbarui: 30 Juni 2016   09:28 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konsep agama, kefakiran merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau dengan kata lain, fakir berarti sangat membutuhkan bantuan orang lain karena memang kebutuhan hidupnya tidak mampu tercukupi oleh dirinya sendiri. Jika miskin merupakan kondisi seseorang yang sangat pas-pasan, sehingga kadang cukup kadang kurang, maka fakir berarti berada dalam kondisi sangat-sangat kekurangan sehingga paling membutuhkan. 

Melihat dari konsep fakir seperti ini, para koruptor juga sebenarnya dapat disebut sebagai kelompok “fakir”, karena dia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga “mencuri” uang negara adalah cara yang ditempuh untuk memenuhi kekurangannya. Hanya saja, cara yang dilakukan para koruptor sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup rakyat banyak. Para koruptor yang “fakir” pada dasarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang serba kekurangan, tetapi lebih memenuhi keinginan hawa nafsunya. Berbeda dengan prinsip kefakiran sesungguhnya, yang memang dibentuk oleh kondisi serba kekurangan, sehingga kebutuhan akan makan, minum atau sandangnya selalu menuntut dapat terpenuhi.

Menjelang Idul Fitri, kita melihat fenomena kefakiran tidak lagi berada pada sebuah fakta sosial, sebagai pengemis, gelandangan, pekerja serabutan atau siapapun yang menurut pandangan sosial perlu dibantu dan diberi. Kefakiran belakangan ini sudah menjadi sebuah fakta sosial baru, sehingga tidak lagi dilihat hanya sebagai bentuk dari pengemis, gelandangan atau pekerja serabutan di jalan-jalan, tetapi kefakiran sudah menjadi bentuk kebutuhan umum semua orang yang tidak dibatasi oleh strata sosial. 

Kefakiran saat ini bisa saja muncul dari seorang politisi, pejabat, aparatur negara, ormas atau kelompok-kelompok tertentu yang meminta bantuan dari orang lain atau kelompok lain agar kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi. Kefakiran menjelang Idul Fitri seringkali ditunjukkan dengan adanya permintaan sumbangan baik secara resmi atau tidak kepada para pebisnis, pengusaha, pemilik warung, bengkel, showroom mobil/motor atau segala bentuk usaha apapun.

Kita mungkin seringkali menyaksikan menjelang Idul Fitri, semakin banyak ormas berkeliling ke pada semua pelaku usaha agar bersedia membayarkan THR mereka, karena mereka tiba-tiba fakir menjelang Idul Fitri. Kefakiran tidak hanya berhenti pada kelompok tertentu atau ormas, kefakiran justru merambah instansi pemerintah, institusi politik atau aparatur negara yang juga mendadak fakir menjelang Idul Fitri. 

Mereka biasanya membuat imbauan secara resmi melalui surat yang sengaja dikirim ke beberapa perusahaan swasta agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Salah satu yang diperlihatkan oleh media adalah kefakiran instansi hukum, yakni Pengadilan Negeri Tembilahan, Riau yang membuat surat resmi agar perusahaan-perusahaan swasta dapat secara sukarela memenuhi kebutuhan mereka yang mungkin merasa kesusahan menjelang Idul Fitri. Surat resmi yang ditandatangani sendiri oleh ketua PN setempat menunjukkan kefakiran yang tidak lagi dibatasi oleh strata sosial tertentu.

Dalam salah satu surat resminya kepada pihak swasta ditulis, “…sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami mengharapkan bantuan dan partisipasi…”. Kata “bantuan” yang tertera dalam surat tersebut jelas-jelas menunjukkan kefakiran di mana ada kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi sehingga harus ditolong oleh pihak lain. Bahkan, surat resmi itu dicap dan tandatangan basah sebagai bentuk keseriusan pihak PN Tembilahan Riau bahwa mereka benar-benar fakir dan sangat butuh terhadap pertolongan orang lain. Mungkin ini hanyalah salah satu contoh yang kurang lebih memberikan gambaran bahwa kefakiran semakin meningkat jelang Idul Fitri.

Idul Fitri memang menjadi magnet tersendiri bagi sekian banyak orang, sehingga seakan-akan tidak ikut Idul Fitri merupakan “dosa besar” yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Padahal, konsep Idul Fitri sendiri secara agama seharusnya dipahami sebagai semangat “back to zero” di mana manusia ibarat bayi yang baru lahir, karena puasa yang telah selesai dijalankan telah menghapus dosa-dosa mereka, sehingga manusia kembali bersih dan suci. 

Sangat bertolak belakang jika kesucian dan kebersihan kemudian justru yang marak adalah kefakiran masyarakat yang meminta THR kepada orang lain. Sungguh sebuah ironi disaat banyak orang memaknai Idul Fitri sebagai bentuk penyucian diri setelah berpuasa Ramadan, tetapi yang tampak menjadi fakta sosial justru kefakiran. Fakir bersifat profan dan Idul Fitri bersifat sakral yang keduanya sangat jauh perbedaannya.

Tetapi justru fakta kefakiran seperti inilah yang marak di hadapan kita. Mungkin mental bangsa kita sudah kadung terstrukturalisasi menjadi budaya “peminta-minta” sehingga bangsa ini lebih terlihat fakir daripada berkecukupan. Bangsa ini tidak pernah kaya akibat kefakiran yang terus membudaya dalam setiap kehidupan generasinya. Padahal, kefakiran dalam terminologi agama harus dihilangkan melalui upaya yang sungguh-sungguh dan kuat menjadi dirinya sendiri mampu memenuhi kebutuhan dirinya tanpa harus bergantung dari belas kasihan orang lain atau bangsa lain. 

Kefakiran harus dilawan, bukan dilestarikan apalagi diabadikan. Kefakiran justru mempermudah orang terjun kedalam kesesatan, kerusakan, kedunguan, kebodohan dan banyak ekses negatif lainnya ketika kefakiran terus-menerus dipertahankan. Seharusnya, menjadi fakir disaat kita masih mampu memenuhi kehidupan kita sendiri seakan mempermalukan diri sendiri atau bahkan memperlihatkan kelemahan kita kepada orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun