Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Piagam Jakarta 22 Juni dan Relasi Ideologi Tiga Negara

22 Juni 2016   12:29 Diperbarui: 22 Juni 2016   12:48 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari ini, 22 Juni disebut sebagai hari lahirnya Piagam Jakarta dari sebuah rentetan lahirnya Pancasila yang digagas oleh M. Yamin dan Soekarno mengenai ide pelembagaan sebuah dasar negara. Piagam Jakarta hakikatnya merupakan teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang didalamnya terdapat manifesto politik sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia. 

Isi dari Piagam Jakarta kemudian dijadikan preambul dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah dilakukan revisi terhadap beberapa kalimat yang kurang menunjukkan kepentingan nasional. Sejak 1 Juni sampai 22 Juni 1945 ditengarai telah terjadi perdebatan intelektual dan cerdas antara para pendiri bangsa ini. Hasil perdebatan yang hebat diantara para pendiri bangsa ini kemudian menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dan UUD 1945.

Perdebatan mengenai Piagam Jakarta yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini kemudian secara spektrum mengerucut kepada dua mainstream pemikiran, yaitu Islam dan sekuler. Mainstream pertama diwakili oleh mereka yang terkoneksi secara luas dengan politik Islam dan dunia pesantren, sedangkan mainstream kedua lebih merupakan wakil dari lulusan-lulusan sekolah Eropa-Amerika yang cenderung bernuansa sekuler dalam merumuskan landasan dasar negara. 

Perdebatan ini kemudian lebih difokuskan dengan membentuk Panitia Sembilan yang diwakili oleh Soekarno (Ketua), Mohammad Hatta (Wakil Ketua) dengan beberapa anggota yaitu Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdoel Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim dan Alexander Andries Maramis. 

Kesembilan tokoh ini kemudian bekerja secara maksimal merumuskan dasar-dasar negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Terdapat Pancasila prarevisi yang tertuang dalam pembukaan tersebut yang kemudian satu hari setelah Proklamasi, redaksi pada preambul,…”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dipotong dan disederhanakan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penghapusan redaksi ini bukan berdasarkan karena adanya tuntutan golongan sekuler tetapi lebih kepada sebuah kesadaran akan persamaan persepsi perjuangan yang juga dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa harus membedakan kepercayaan atau agama tertentu. Seluruh tokoh dalam elemen Panitia Sembilan menyadari sepenuhnya, bahwa Indonesia merdeka didasarkan pada semangat perjuangan kemerdekaan nasional yang melibatkan seluruh elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke. 

Meskipun sebenarnya semua pihak telah sepakat dengan rumusan yang memberi afirmasi pada kebutuhan khusus kaum Muslimin, mengingat besarnya pengorbanan mereka dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dalam berbagai catatan sejarah, tidak ditemukan adanya penolakan oleh kelompok agama tertentu yang menyoal redaksi teks dalam prarevisi Pancasila yang mengakomodir kebutuhan khusus kaum Muslimin. Kalangan agama, khususnya Islam lebih mengedepankan prinsip berbangsa dan bernegara berdasarkan nasionalisme bukan agama, sehingga usulan untuk kementrian yang mengurusi masalah agama Islam (Islamic Affairs) pada akhirnya diperluas menjadi kementrian agama.

Sebagaimana telah disebut diatas, terdapat Panitia Sembilan yang merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia, yang jika dikerucutkan mewakili kelompok Islam dan sekuler. Soekarno, Hatta, M Yamin, Achmad Soebardjo dan AA Maramis mewakili kelompok sekuler dan Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Abikoesno merupakan representasi dari kelompok pemikiran Islam. Dalam banyak hal, beberapa anggota Panitia Sembilan memiliki relasi ideologis yang jarang diungkap oleh publik. 

Soekarno misalnya, dia memiliki kedekatan ideologis dengan Agus Salim dan Abikoesno karena mereka dibesarkan oleh latar ideologis yang dibentuk oleh Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Abikoesno diketahui sebagai adik kandung Tjokroaminoto dan penerus Sarekat Islam pasca wafatnya Tjokroaminoto. Bahkan Abikoesno malah memiliki hubungan keluarga dengan Soekarno karena anak perempuan Tjokroaminoto dinikahi Soekarno.

Adapun pertemuan Soekarno dengan beberapa tokoh pergerakan nasional seperti M. Yamin dan Hatta sudah lebih dahulu dilakukan, disaat menjamurnya Perhimpunan Indonesia untuk kemerdekaan sejak tahun 1928. M. Yamin dan Hatta merupakan pemegang estafet kepemimpinan PNI yang didirikan Soekarno pada saat di Bandung. Kontak antara Soekarno, Yamin dan Hatta telah lama dibangun dalam rangka pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga sangat mungkin mereka memiliki kedekatan hubungan ideologis, dalam bingkai pemikiran sekuler-nasionalis dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Adapun AA Maramis dan Achmad Soebardjo dikenal sebagai mahasiswa Universitas Leiden, Belanda yang juga sama dengan Hatta telah lebih dahulu bergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Ketiga serangkai ini giat menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan pembebasan dari imperialisme dan penjajahan asing yang masih kuat mencengkeram kedaulatan Indonesia waktu itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun