Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tito dan Politik Setengah Hati Jokowi

17 Juni 2016   16:02 Diperbarui: 17 Juni 2016   16:06 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramai-ramai mengenai usulan calon tunggal kapolri oleh Presiden Jokowi sebagai pengganti Jenderal Badrodin Haiti yang segera memasuki masa pensiun, dinilai masih upaya setengah hati yang dilakukan Jokowi. Memang, hak prerogratif presiden dalam mengangkat atau memberhentikan seorang kapolri kapan saja, tetapi nampaknya hak prerogratif sejauh ini hanya dimaknai sebatas “penetapan” tetapi proses pencarian dan pengenalan calon-calon kapolri sudah lebih dulu berada di meja Jokowi. Bisa saja, terdiri dari empat atau lima calon yang diajukan oleh masyarakat kepada presiden, sesuai dengan masing-masing kekuatan politik yang melatarbelakangi para calon kapolri ini berbaris rapi di meja Presiden Joko Widodo. Sudah sejak zaman kuno, usulan-usulan pejabat dari mereka yang berkepentingan, sudah lebih dahulu hadir di meja penguasa sebelum penguasa menentukan siapa yang layak menjabat.

Banyak yang tidak menduga, kalau Komjen Tito Karnavian tiba-tiba menyeruak diantara nama-nama lain yang mungkin sudah lebih dahulu mampir di meja kerja Jokowi. Nama mantan Komandan Densus 88 ini semakin hangat dibicarakan mengingat namanya menjadi satu-satunya calon tunggal kapolri yang dipilih dan diajukan Jokowi kepada DPR. 

Secara karir, pria asal Palembang ini memang luar biasa, karena menjabat posisi-posisi penting di jajaran kepolisian. Tito pernah menjabat sebagai Kapolda Papua, Komandan Densus 88, Kapolda Metro Jaya dan pernah menjabat Direktur Bareskrimsus Polri. Tito juga diketahui sebagai polisi yang gandrung sekolah karena Tito pernah kuliah di Inggris, Selandia Baru dan Singapura. Kegandrungannya akan dunia pendidikan memperlihatkan sosok dirinya yang cerdas, terukur, kritis terutama ketika Tito memaparkan ide-idenya pada saat menjadi pembicara atau pemakalah dalam sebuah forum.

Ketertarikan Jokowi dalam mengambil Tito sebagai calon tunggal kapolri secara tidak langsung adalah upaya counter terhadap asumsi banyak pihak bahwa PDI-P sebagai porpol pengusung Jokowi pasti akan mendesaknya agar Komjen Budi Gunawan yang dulu gagal menjadi kapolri sudah saatnya diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai pengganti Badrodin Haiti. 

Upaya PDI-P ternyata kandas, karena Jokowi keukeuh menyodorkan nama Tito kepada DPR agar dilakukan uji kelayakan dan kepatutan menjelang disahkannya menjadi kepala Polri yang akan menggantikan Jenderal Badrodin. Disini nampak ada upaya Jokowi ingin meninggalkan jejak bahwa stigma sebagai pekerja partai tidak berlaku lagi ketika seseorang sudah menjadi presiden. Seorang presiden tidak lagi milik partai atau kelompok tertentu, tetapi presiden merupakan cerminan rakyat, tidak dibatasi oleh sekat-sekat politik, agama atau kelompok tertentu.

Namun demikian, adanya usulan untuk memperpanjang masa tugas Jenderal Badrodin Haiti sebagai Kapolri menyiratkan Jokowi masih setengah hati dalam mengajukan Tito sebagai pengganti Badrodin. Memang menjadi kebiasaan Jokowi selama ini, melemparkan terlebih dahulu pilihannya kepada publik, biarkan publik menilai, jika ada masalah baru bisa dibicarakan lagi. 

Kasus ini sama ketika Jokowi melemparkan wacana Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri oleh Jokowi, tetapi menimbulkan reaksi yang sangat gaduh ditengah masyarakat, sehingga Jokowi kemudian membatalkan pelantikan Budi sebagi kapolri, tetapi tetap dilantik menjadi wakapolri mendampingi Badrodin Haiti. Saya kira, dengan masih adanya unsur senioritas di tubuh polri akan mempersulit langkah Tito kedepannya, karena bagaimanapun “wilayah kekuasaan” polri yang sesungguhnya masih diukur oleh unsur “senioritas” yang ada dalam jajarannya, melanggar hal ini sama dengan mencoreng institusi polri itu sendiri.

Presiden Jokowi paling tidak, kedepannya harus mempertimbangkan jabatan-jabatan yang pantas bagi para jenderal “senior” Tito yang masih aktif di jajaran polri. Pilihan Jokowi kepada Tito memang disatu sisi menghindari unsur transaksionalisasi politik, karena Tito merupakan sosok yang tidak kontroversial, netral karena tidak ada persinggungan dengan partai tertentu, berprestasi sehingga diharapkan dapat diterima oleh semua kalangan. Jokowi akan lebih sulit ketika memilih senior Tito di polri seperti Komjen Pol Budi Waseso misalnya yang pernah kontroversial akibat kasus perseteruan Polri dengan KPK pada saat Budi menjabat sebagai Kabareskrim Polri.   

Saya kira, pilihan Jokowi terhadap Tito memang memperlihatkan kemandirian Jokowi sebagai kepala negara yang tidak mudah diintervensi siapapun atau pihak manapun. Pilihan kepada Tito adalah satu-satunya strategi Jokowi dalam menunjukkan rasionalitas politik terhadap pilihan berdasarkan karir, kecakapan, penguasaan, pengalaman sekaligus kecerdasan yang dimiliki seseorang sehingga dia harus dipilih. Bukan pilihan berdasarkan desakan kelompok atau partai politik yang ujung-ujungnya nanti malah banyak membawa “titipan kepentingan”. Lagi pula, kepolisian merupakan lembaga strategis yang seharusnya netral dari pengaruh berbagai kepentingan politik. 

Banyak harapan publik digantungkan kepada pengelolaan kepolisian secara lebih baik dan profesional sehingga dapat berpengaruh dan mengangkat citra kepolisian lebih baik ditengah masyarakat. Lembaga negara seperti kepolisian, seharusnya menjadi pembuka dalam hal penegakan hukum yang lebih baik dan dapat dipercaya masyarakat ditengah karut-marutnya lembaga peradilan akibat korupsi yang menjerat para penegak hukumnya.

Jika Tito menjadi pilihan final bagi Jokowi, maka ketegasan Jokowi seharusnya tidak memperlihatkan politik setengah hati yang bakal dijanjikan kepada calon-calon yang disodorkan partai politik ketika gagal dipilih sebagai calon kepala polri. Jangan pernah terjadi lagi pergantian kapolri yang terlalu sering selama masa jabatan seorang presiden karena hal ini hanya menunjukkan keraguan atau desakan agar calon-calon pilihan partai diberikan kesempatan memimpin. 

Ketika pilihan kepada Tito sudah diambil Jokowi, tidak pula sebagai upaya testcasekepada masyarakat untuk mengukur dan sekedar melihat reaksi yang kemudian muncul mengenai seberapa besar tanggapan masyarakat terhadap apa yang dipilih oleh Jokowi. Jabatan di kepolisian harus bebas dari unsur-unsur kepentingan politik jika ingin lembaga negara ini semakin maju dan profesional. Inilah alasan terpenting Presiden Joko Widodo jatuh hati terhadap Tito Karnavian.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun