Kita seringkali mendapatkan bahwa puasa dari Ramadhan ke Ramadhan tidak memiliki efek dan pengaruh apa-apa, selain hanya lapar dan haus yang selalu kita rasakan. Tahun berganti tahun, tidak ada yang berubah dari sikap kita setelah menjalankan puasa Ramadhan, stagnan dan cenderung itu-itu saja. Padahal mungkin sudah berpuluh-puluh tahun kita berpuasa, sejak kita masih sangat belia sampai saat ini menjadi seorang Muslim yang taat, Ramadhan hanya dimaknai sebagai bulan kewajiban melaksanakan ibadah puasa.
Sehingga berapa banyak yang menjalankan puasa hanya sekedar mengugurkan kewajiban, tanpa lebih jauh memaknai esensi yang tersembunyi (esoteris) dari puasa itu sendiri. Kondisi yang terjadi dari umat manusia yang berpuasa sudah diprediksi Nabi Muhammad saw sebelumuya dimana Nabi pernah berkomentar, “betapa banyak orang yang berpuasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus saja”.
Nabi Muhammad saw saja, sepanjang hidupnya mungkin hanya sembilan atau sepuluh kali bertemu Ramadhan, karena kewajiban berpuasa pada waktu itu diperintahkan oleh Tuhan ketika Nabi Muhammad saw di Madinah dan Nabi tinggal di Madinah kurang lebih 12 tahun. Sebelum Ramadhan ditetapkan sebagai bulan diwajibkan berpuasa kepada umat Islam, sudah ada puasa-puasa yang dipraktekkan sebelumnya dengan mengacu kepada ajaran umat-umat terdahulu, ada yang berpuasa setiap bulan 3 hari, ada yang berpuasa di bulan-bulan khusus, seperti Assyura’ atau praktek-praktek berpuasa yang dilakukan di waktu-waktu tertentu. Praktek puasa ternyata bukanlah hal baru yang diperintahkan Tuhan kepada umat manusia, tetapi di seluruh sejarah umat manusia sudah ada praktek berpuasa bahkan sudah terlebih dahulu dilakukan jauh sebelum Islam datang, jauh sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Puasa dengan demikian sudah menyatu menjadi bagian dalam budaya serta kebiasaan yang dilakukan manusia berabad-abad lamanya.
Ketika melihat kepada pelaksanaan dan pemaknaan puasa oleh setiap generasi, memang terdapat banyak pergeseran dan perbedaan antara puasanya generasi terdahulu dan generasi sekarang. Berpuasanya orang dulu tidak hanya dipraktekkan sebatas tataran “kulit” tetapi sudah merambah kedalam wilayah “isi” sehingga puasa lebih bernuansa “esoteris” bahwa lapar dan haus hanyalah sekedar sarana dalam rangka menuju pembentukan pribadi yang lebih bersih dan sempurna. Bahkan, kegiatan sahur dan berbuka tidaklah menjadi persoalan yang penting bagi mereka.
Bagi yang mempraktekkan puasa secara esoteris, maka efek dan dampak puasa pasca Ramadhan akan terasa menjadi semacam dorongan setiap pribadi untuk lebih peka terhadap penyelesaian persoalan-persoalan sosial yang timbul dalam masyarakat. Kepekaan sosial adalah tujuan utama yang dibentuk melalui pelaksanaan puasa yang tidak sekedar dilalui dengan menahan lapar dan haus seperti dilakukan kebanyak orang saat ini. Esoterisme mendorong berpuasa tidak hanya secara fisik, tetapi juga berpuasa secara mental-spiritual.
Kenyataannya, puasa yang bernuansa eksoteris lebih banyak menjadi fenomena kekinian sehingga semakin banyak melahirkan generasi-generasi yang justru hedonis bahkan cenderung kapitalis. Puasa eksoteris lebih banyak dilakukan hanya dalam rangka menahan diri dari lapar dan haus, sambil menunggu kumandang adzan magrib yang menjadi favorit, berharap cepat selesai Ramadhan dan tiba Idul Fitri, orientasi pulang kampung sudah terbentuk jauh-jauh hari bahkan sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Budaya kekinian rupanya banyak yang telah “memaksa” sebagian besar orang yang berpuasa lebih bernuansa eksoteris dibanding esoteris. Lihat saja iklan-iklan di TV, yang setiap tahun selalu menggambarkan sisi eksoterisme, dengan makanan, minuman yang melimpah atau obat-obatan yang dimakan pas waktu sahur dan berbuka. Hampir seluruh tayangan iklan dalam bulan Ramadhan menjelaskan seputar makan dan minum, sehingga membentuk pola pikir manusia kepada puasa yang hanya sebatas menahan lapar dan haus saja, tidak lebih.
Ketika puasa eksoteris kemudian melahirkan generasi yang hedonis, berpuasa dipahami sebagai “penjara” bagi kebebasan mereka dalam hal makan dan minum, sehingga yang sering terjadi adalah ajang “balas dendam” yang berlebihan saat berbuka puasa dan seterusnya sampai menjelang sahur. Para hedonis merasa terbelenggu oleh puasanya sendiri, yang dianggap menghambat kenikmatan dan kesenangan bagi mereka. Mereka kemudian banyak yang menghabiskan waktu puasanya dengan cara-cara lebih menyenangkan menurut ukuran mereka sendiri.
Puasa dijadikan “fun” untuk mereka, tetapi hanya berkutat pada menahan lapar dan haus saja. Lain halnya dengan generasi kapitalis, puasa dianggap sebagai momen dimana puasa dilihat sebagai ajang sulitnya mencari makan, sehingga sebelum Ramadhan mereka sudah membeli bahan-bahan makanan yang di stok selama 30 hari kedepan. Mereka senantiasa menyajikan menu-menu spesial untuk berbuka puasa, variatif, ekslusif bahkan seringkali inovatif. Padahal berbuka yang sederhana cukuplah hanya dengan air putih dan kurma sebagaimana diajarkan Nabi saw. Ramadhan jika dipahami secara eksoteris justru akan melahirkan generasi kapitalis, dimana kita “dipaksa” untuk menjadi lebih konsumtif dalam hal memilih dan membeli makanan dan minuman selama berpuasa. Maka wajar, jika yang terjadi kemudian adalah krisis pangan di setiap bulan-bulan Ramadhan.
Prilaku hedonis dan kapitalistik sebagian besar manusia sangat berpengaruh terhadap kekacauan ketahanan pangan saat ini. Sampai-sampai, dilakukan impor dan penyesuaian harga lewat operasi pasar, tapi apa daya, tidak pernah ada hasil yang berarti. Harga-harga tetap naik diakibatkan oleh kecenderungan prilaku puasa kita yang eksoteris. Ditengah maraknya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, Presiden Jokowi punya angan-angan seperti di negara-negara lain yang justru mampu menerapkan diskon ketika menjelang hari-hari besar keagamaan.
Diskon bukanlah solusi dalam mendorong agar harga-harga turun saat Ramadhan, yang perlu diperhatikan adalah sikap konsumtif masyarakat kita yang lebih “gila-gilaan” saat puasa Ramadhan bahkan sampai Idul Fitri tiba. Diskon tidak diperlukan ketika masyarakat yang berpuasa sadar dengan keyakinannya, bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus saja. Memahami esensi puasa dengan baik, akan lebih menstabilkan seluruh dimensi kehidupan yang ada, baik secara fisik maupun psikis. Kestabilan fisik dan psikis justru pada akhirnya akan melahirkan kestabilan lingkungan sekitarnya.
Untuk sekedar gambaran, bahwa puasa yang dilakukan generasi terdahulu dilakukan dengan penuh keyakinan dan kesadaran, sehingga puasa tidak hanya sekedar dimaknai menahan lapar dan haus. Puasa bagi mereka dipandang sebagai kewajiban Tuhan yang akan mendatangkan banyak manfaat dan memiliki efek terhadap nilai-nilai perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam sejarah puasa awal, bahkan ada sebagian dari Sahabat Anshor yang banyak berpuasa saat Ramadhan hingga larut malam, dan tak jarang mereka begadang semalam suntuk karena apresiasi mendalam terhadap puasa yang diwajibkan kepada mereka, sebelum kemudian Nabi saw melarangnya untuk tidak memaknai puasa secara berlebihan. Nabi kemudian lebih banyak mengajarkan puasa dengan mengasah “batin” agar lebih respek terhadap realitas sosial, seperti penekanan terhadap silaturrahim, memaafkan antarumat, dekat dengan orang lemah dan lain-lain.
Nabi selanjutnya memberikan penjelasan mengenai bagaimana seharusnya puasa agar dapat selaras dan sesuai dengan syari’ah yang ditetapkan Tuhan. Puasa bukan sekedar menahan diri secara fisik untuk hal-hal yang berhubungan dengan nafsu duniawi, seperti makan dan minum, tetapi banyak mengandung makna batin agar kondisi “menahan diri” tidak hanya untuk yang bersifat nafsu duniawi, tapi seluruh yang tidak bermanfaat bagi dirinya haruslah ditahan. Komentar Nabi Muhammad tentang banyaknya orang berpuasa yang sekedar menahan lapar dan haus saja sekaligus mengajarkan tentang bagaimana puasa seharusnya dimaknai secara esoteris dengan meneladani nilai-nilai kemanfaatan yang ada dalam puasa. Dengan berpuasa, ada nilai-nilai positif yang seharusnya bermanfaat untuk diri kita, selain hanya lapar dan haus yang seringkali kita dapatkan.
Ini mungkin perbedaan puasa “mereka” dengan “kita”. Puasa itu seakan terlihat memberatkan bagi sebagian besar umat Muslim, tetapi sebetulnya Tuhan tidak pernah menghendaki kesusahan, justru selalu memberi kemudahan untuk umatnya. Di dalam puasa yang diwajibkan kepada umat Islam, menahan makan dan minum hanya diberlakukan dalam ukuran rata-rata kemampuan manusia, tidak ada yang melewati batas kemampuannya. Menahan makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari sudah diukur oleh Tuhan bahwa manusia yang normal itu pasti mampu. Dalam beberapa hal, Tuhan memperbolehkan manusia tidak berpuasa dikarenakan beberapa hal, bisa karena sakit, dalam perjalanan, pekerja berat atau memang orang tua yang sudah udzur.
Tuhan tidak pernah menghendaki kesusahan atau kesulitan dalam kehidupan manusia, tapi manusia sendiri-lah yang membuat sesuatu menjadi rumit dan sulit. Puasa yang seharusnya mudah, tapi dirasakan berat, bahkan sulit bagi sebagian orang. Puasa yang bermaksud mendidik manusia melalui pembatasan terhadap nafsu terhadap makan dan minum, justru dilakukan secara berlebihan oleh manusia dalam hal makan dan minum khususnya saat berbuka puasa. Bahkan puasa yang mendidik agar manusia lebih peka terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat, justru dijadikan ajang penghamburan harta dengan belanja yang melampaui batas selama puasa. Disinilah bedanya ketika puasa dilakukan dalam nuansa eksoteris dan esoteris.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H