Untuk sekedar gambaran, bahwa puasa yang dilakukan generasi terdahulu dilakukan dengan penuh keyakinan dan kesadaran, sehingga puasa tidak hanya sekedar dimaknai menahan lapar dan haus. Puasa bagi mereka dipandang sebagai kewajiban Tuhan yang akan mendatangkan banyak manfaat dan memiliki efek terhadap nilai-nilai perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam sejarah puasa awal, bahkan ada sebagian dari Sahabat Anshor yang banyak berpuasa saat Ramadhan hingga larut malam, dan tak jarang mereka begadang semalam suntuk karena apresiasi mendalam terhadap puasa yang diwajibkan kepada mereka, sebelum kemudian Nabi saw melarangnya untuk tidak memaknai puasa secara berlebihan. Nabi kemudian lebih banyak mengajarkan puasa dengan mengasah “batin” agar lebih respek terhadap realitas sosial, seperti penekanan terhadap silaturrahim, memaafkan antarumat, dekat dengan orang lemah dan lain-lain.
Nabi selanjutnya memberikan penjelasan mengenai bagaimana seharusnya puasa agar dapat selaras dan sesuai dengan syari’ah yang ditetapkan Tuhan. Puasa bukan sekedar menahan diri secara fisik untuk hal-hal yang berhubungan dengan nafsu duniawi, seperti makan dan minum, tetapi banyak mengandung makna batin agar kondisi “menahan diri” tidak hanya untuk yang bersifat nafsu duniawi, tapi seluruh yang tidak bermanfaat bagi dirinya haruslah ditahan. Komentar Nabi Muhammad tentang banyaknya orang berpuasa yang sekedar menahan lapar dan haus saja sekaligus mengajarkan tentang bagaimana puasa seharusnya dimaknai secara esoteris dengan meneladani nilai-nilai kemanfaatan yang ada dalam puasa. Dengan berpuasa, ada nilai-nilai positif yang seharusnya bermanfaat untuk diri kita, selain hanya lapar dan haus yang seringkali kita dapatkan.
Ini mungkin perbedaan puasa “mereka” dengan “kita”. Puasa itu seakan terlihat memberatkan bagi sebagian besar umat Muslim, tetapi sebetulnya Tuhan tidak pernah menghendaki kesusahan, justru selalu memberi kemudahan untuk umatnya. Di dalam puasa yang diwajibkan kepada umat Islam, menahan makan dan minum hanya diberlakukan dalam ukuran rata-rata kemampuan manusia, tidak ada yang melewati batas kemampuannya. Menahan makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari sudah diukur oleh Tuhan bahwa manusia yang normal itu pasti mampu. Dalam beberapa hal, Tuhan memperbolehkan manusia tidak berpuasa dikarenakan beberapa hal, bisa karena sakit, dalam perjalanan, pekerja berat atau memang orang tua yang sudah udzur.
Tuhan tidak pernah menghendaki kesusahan atau kesulitan dalam kehidupan manusia, tapi manusia sendiri-lah yang membuat sesuatu menjadi rumit dan sulit. Puasa yang seharusnya mudah, tapi dirasakan berat, bahkan sulit bagi sebagian orang. Puasa yang bermaksud mendidik manusia melalui pembatasan terhadap nafsu terhadap makan dan minum, justru dilakukan secara berlebihan oleh manusia dalam hal makan dan minum khususnya saat berbuka puasa. Bahkan puasa yang mendidik agar manusia lebih peka terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat, justru dijadikan ajang penghamburan harta dengan belanja yang melampaui batas selama puasa. Disinilah bedanya ketika puasa dilakukan dalam nuansa eksoteris dan esoteris.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H