Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

3 Kelemahan Ahok Jika Nyalon Gubernur DKI Jakarta

3 Juni 2016   10:04 Diperbarui: 3 Juni 2016   10:12 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Pilkada DKI Jakarta terlihat lebih menarik dan menegangkan dibanding Pilkada lainnya di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, tahun 2017 yang akan datang, akan ada 101 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak. Dari 101 daerah yang akan melaksanakan Pilkada, sekitar 7 daerah setingkat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Aceh, Belitung, Sulawesi Barat dan Papua Barat akan serentak menggelar Pilkada langsung pada Februari 2017 mendatang. Sisanya berarti sekitar 94 daerah terdiri dari kabupaten/kota yang juga menggelar Pilkada sebagaimana hasil ketetapan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari sekian daerah yang akan melaksanakan Pilkada langsung, sorotan media nasional terhadap Pilkada Jakarta porsinya nampak lebih besar.

Adalah calon pejawat (incumbent) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama atau Ahok yang akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta melalui jalur perseorangan (independen) merupakan sosok yang paling “menjual” diantara calon-calon pejawat lainnya yang akan terjun berlaga dalam kontes Pilkada serentak tahun depan. Disebut “menjual” karena memang realitas di media massa baik elektronik maupun cetak menampilkan sosok Ahok dari beragam sudut pandang. Ada media yang mendukung, sehingga porsi beritanya mengenai Ahok terkesan berlebihan dan membahas sisi positif dan hampir bebas kritik. Disisi lain, banyak juga media yang “tidak suka” dengan Ahok sehingga seringkali mem-blow-up apapun yang berhubungan dengan Ahok dari sisi kekurangan dan kelemahannya. Ada juga media yang membahas Ahok dalam realitas sosial saat ini secara lebih “halus” padahal pembaca atau penonton akan merasakan konten dari berita tersebut memuat kritik-kritik tajam tentang sosok mantan bupati Belitung Timur ini. Paling tidak, penggambaran seutuhnya mengenai berita-berita seputar Ahok yang diangkat oleh media, menunjukan realitas “beyond the line” dan sekaligus realitas “beyond the lies”.

Pemotretan sisi kehidupan Ahok memang tidak hanya berada pada realitas media, tetapi juga dapat dilihat dan dirasakan pada konteks sosial masyarakat, baik itu pendukung atau penolak keberadaan calon gubernur DKI Jakarta ini. Pada tataran ini, fenomena Ahok terlihat lebih “parah” dari sekedar apa yang digambarkan media. Para pendukung Ahok terkadang seringkali membabi buta dalam upaya mencitrakan jagoannya, sampai-sampai hampir kehilangan rasionalisme politiknya dalam memandang demokratisasi pemilihan pemimpin politik. Sama halnya ketika Ahok dicitrakan oleh para penolaknya, bahwa seluruh yang baik dalam diri Ahok apapun itu selalu dicitrakan buruk, seakan-akan kebaikan Ahok tertutupi oleh ketidak adilan mereka dalam memandang realitas politik. Gambaran mengenai realitas sosial dalam memandang Ahok, seringkali diistilahkan sebagai “Lovers” dan “Haters”.

Namun demikian, masih banyak juga yang selalu melihat proporsional mengenai realitas Ahok jelang Pilkada DKI Jakarta ini. Adalah Denny JA, salah satu pengamat politik yang mendirikan Lingkar Survey Indonesia (LSI), salah satu lembaga survey independen yang pada saat Pilpres 2014 hasil Quick Count-nya mengenai presentase kemenangan Jokowi-JK dianggap paling netral oleh publik. Dalam laporan tertulisnya ke berbagai media, Denny menganalisa tentang beberapa kelemahan Ahok jika tetap maju melalui jalur independen. Bagi Denny, keberadaan partai politik di Indonesia saat ini masih merupakan kekuatan efektif yang lebih rasional dalam upaya memperoleh kekuasaan. Disamping itu, parpol merupakan representasi dari kekuatan politik parlemen yang nantinya akan menjadi mitra utama bagi pemimpin daerah terpilih.

Kelemahan Ahok jika terus memaksa untuk tetap menggunakan jalur independen adalah kesulitan dalam pengelolaan dana APBD. Saat ini saja, pengesahan APBD DKI Jakarta seringkali “tersandera” akibat perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta. Dana APBD DKI Jakarta yang sangat besar yang pada 2015 saja sekitar 69,28 triliun serapannya hanya mampu mencapai 19,39 persen, lebih buruk dari serapan APBD di Papua sekalipun, apalagi dibandingkan dengan Gorontalo. Serapan rendah ini menjadi preseden buruk bagi jalannya efektifitas pembangunan di DKI Jakarta. Apalagi nanti Ahok tetap memaksakan diri berlaga di Pilkada DKI Jakarta tetap di jalur independen, maka akan dipastikan akan muncul lagi perseteruan di parlemen antara eksekutif dan legislatif mengenai persetujuan-persetujuan anggaran.

Kelemahan Ahok yang kedua, menurut Denny JA adalah bahwa jika mantan Bupati Belitung Timur ini tetap ngotot menggunakan jalur independen dalam pencalonannya, maka akan kesulitan melahirkan Perda sebagai payung hukum kebijakannya, sebab DPRD berperan dalam hal legilslasi pembuatan Perda. Dalam proses pelaksanaan pembangunan apapun, pasti seorang gubernur membutuhkan Perda yang dibuat dan disahkan oleh DPRD. Memang, Ahok sebagaimana pemda inovatif lain, berhasil melaksanakan apa yang disebut PPP (Public Private Partnership) dimana dalam proses pembangunan itu pihak swasta dilibatkan untuk membiayai proyek-proyek tersebut. Namun keuntungan yang diambil dari pihak swasta tidak akan cukup dibanding pendapatan daerah yang jumlahnya triliunan di DKI Jakarta. Inilah barangkali yang membuat Ahok ngotot menggandeng pihak swasta dalam berbagai pembangunan, termasuk reklamasi, karena beberapa anggaran “tersandera” oleh DPRD DKI Jakarta dalam pelaksanaannya.

Kelemahan ketiga Ahok dalam pandangan Denny JA adalah Ahok akan terganggu oleh aneka pengawasan over dosis yang nanti akan dilakukan oleh DPRD, karena DPRD juga berperan dalam mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh pemda. Karena bisa saja ketika DPRD menginginkan gubernurnya tidak sukses, maka DPRD bisa membuat manuver-manuver yang akan menyulitkan langkah gubernur dalam pelaksanaan program-program pembangunan di daerahnya. Jika-pun Ahok tetap maju dengan jalur independen dan menang misalnya, ada kondisi yang disebut Denny sebagai divide government (pemerintahan yang terbelah) sehingga akan banyak mengganggu kinerja gubernur dalam banyak hal, terutama yang berhubungan dengan pembangunan publik.

Jadi, saat ini kita tinggal melihat, apakah Ahok masih tetep keukeuh menggunakan jalur independen untuk pencalonan di Pilkada DKI Jakarta? Ataukah Ahok melunak untuk merapat ke parpol sehingga terjadi sinergi kekuatan politik? Politik itu memang dinamis, selalu berubah. Mungkin saja saat ini terlihat ada penggalangan kekuatan politik melalui koalisi antarpartai sehingga seakan-akan kekuatan politik besar ini sengaja “menjegal” Ahok yang akan maju sebagai calon independen. Saya kira belum tentu, Ahok juga pasti masih berhitung secara politik, mana yang resikonya paling kecil secara politik maka itu yang akan dia lakukan. Koalisi antarparpol belumlah final, semua kekuatan politik masih menjajaki berbagai kemungkinan dalam melihat peluang kemenangan di Pilkada DKI Jakarta nanti. Ahok atau siapapun yang akan menang tidak menjadi persoalan, selama Jakarta tetap bersih, sehat, tidak macet, rukun dan damai.

Wallahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun