Perkembangan mutakhir partai politik (parpol) belakangan ini memperlihatkan gairah kekuasaannya yang sangat besar. Apa yang disebut kemudian sebagai “godaan politik” bagi parpol ditunjukkan melalui simpati yang begitu besar kepada penguasa agar bisa terakomodasi dalam struktur kekuasaan, bahkan ambisi kekuasaan paling jelas bagi parpol dapat dibuktikan melalui upaya pelembagaan status quo politiknya melalui saluran koalisi yang dibangun antarpartai.
Parpol seakan tidak ingin kehilangan momentum, semakin bergerak sentripetal mendekati poros kekuasaan, berasumsi, menimbang untung-rugi, bila perlu, apapun bentuknya bagaimanapun prosesnya, setiap yang menguntungkan bagi parpol harus lebih diutamakan, meskipun dengan cara mengorbankan kepentingan yang lebih besar.
Pragmatisme kekuasaan telah mengasumsikan bagi parpol, bahwa tidak perlu terlalu idealis dalam berpolitik, ukurannya cukup dengan win-win solution bagaimana kekuasaan yang telah diperoleh dapat dipertahankan dan bisa memberikan kesejahteraan bagi kelangsungan hidup parpol itu sendiri. Sehingga parpol tampak mulai terjatuh kedalam ambisi politik sempit karena fungsi dan keberadaannya hanya sebatas sarana untuk mencapai kekuasaan tidak lagi menjadi saluran aspirasi bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Fenomena pergerakan parpol saat ini terlihat sentripetalmendekati poros-poros kekuasaan. Ditambah lagi oleh mekanisme parpol yang serba sentralistik, semakin memudahkan para pucuk pimpinannya di tingkat elite partai untuk mengatur, mengarahkan atau memaksa kekuatan politik dibawahnya agar mengikuti setiap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh mereka. Model komunikasi politik yang semestinya dibangun secara bottom up dan lebih memperlihatkan pro rakyat, justru berubah top down dan lebih bernuansa elite, sehingga semua kebijakan dan keputusan partai hanya bisa dilakukan para elite parpol di tingkat pusat, sedangkan aspirasi-aspirasi politik dibawahnya seringkali diabaikan bahkan tidak terakomodasi sama sekali.
Gerak teratur parpol mendekati pusaran kekuasaan sangat jelas diperlihatkan oleh Golkar dibawah kepemimpinan Setya Novanto, PPP dibawah pimpinan Romahurmuziy dan PAN yang dinahkodai Zulkifli Hasan. Ketiga parpol ini paling tidak dapat secara jelas memotret pergerakan yang konstan terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang ada dalam pemerintahan. Fungsi parpol yang seharusnya menjadi kontrol bagi pemerintah nampaknya semakin absurd, lemah bahkan bisa saja lenyap yang tertinggal hanyalah mempertahankan status quo dan mengamankan “jatah” kekuasaan.
Semakin banyak kekuatan politik yang tergabung dalam pemerintahan belum tentu semakin kuat atau semakin baik. Pada kondisi tertentu, koalisi yang terlampau banyak hanya akan menjadikan parpol semacam kelompok studi di pemerintahan karena pasti akan sulit mengatur dan mengakomodasi seluruh kepentingan politik yang ada. Padahal, lemahnya kontrol dari oposisi terhadap pemerintahan juga sangat berbahaya karena akan melahirkan bentuk despotisme sehingga mengganggu iklim demokrasi dalam sistem politik.
Berubahnya haluan parpol yang dulu tergabung dalam oposisi dan kini mendukung pemerintah seperti yang dilakukan Golkar dan PAN semakin mempertontonkan ambisi kekuasaan parpol dan tanpa sadar mereka sudah memperlemah mekanisme kontrol terhadap pemerintah. Padahal kekuatan politik parpol dalam sistem pemerintahan mestinya bisa jadi penyeimbang (balance of power) dalam mendukung dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Pemerintahan Jokowi-JK saat ini mulai terlihat mengakomodir seluruh kekuatan politik dari unsur parpol yang ada, bahkan bila perlu parpol diajak untuk memperkuat sistem pemerintahan yang saat ini berjalan. Jika Golkar dan PAN saat ini sudah masuk dalam koalisi pemerintahan, berarti roda pemerintahan Jokowi-JK saat ini merepresentasikan koalisi “gemuk” karena didukung oleh delapan parpol yang jika ditotal kekuatan politik pemerintahan mencapai 75 persen sehingga akan melemahkan kekuatan politik oposisi. Kondisi ini kurang lebih sama pada saat SBY membangun pemerintahannya melalui koalisi yang didukung penuh oleh 9 parpol, sehingga yang terjadi adalah kebingungan mengakomodasi seluruh kepentingan dan pemerintahan berjalan lambat.
Saat ini tujuan utama koalisi partai politik (parpol) dalam konteks perolehan kekuasaan sudah tidak lagi bisa dilihat sebagai bentuk penyatuan ideologi politik atau penyeragaman kepentingan yang dibawa oleh masing-masing parpol dalam koalisi, tetapi lebih ke arah besarnya godaan dan hasrat politik yang tinggi agar eksitensi parpol tetap “aman” dalam struktur kekuasaan. Pilar-pilar kekuasaan politik yang dibangun oleh parpol kelihatannya lebih banyak dijaga dalam rangka mempertahankan status quo, bukan diperkuat atas dasar kepentingan rakyat yang lebih besar.
Hal ini mudah kita lihat, misalnya terhadap adanya klausul perubahan pada UU Pilkada yang menyoal apakah “berhenti” atau “cuti sementara” bagi pejawat atau kontestan dari parpol yang ikut dalam kontestasi Pilkada. Pelaksanaan Pilkada yang sukses secara serentak dan langsung di Indonesia pada 2015 lalu ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan tersendiri bagi parpol, sehingga perlu diatur dan dirumuskan kembali mengenai aturan-aturan bagi para kontestan politik. Problem-problem politik yang terjadi menjelang Pilkada semakin menunjukkan gairah parpol dalam mempertahankan status quo-nya dalam mengamankan wilayah kekuasaan politik mereka.
Wujud koalisi parpol dalam upaya mempertahankan status quo lebih terlihat lagi menjelang Pilkada, terutama di Jakarta. Koalisi antarpartai yang diawali oleh bentukan poros PDI-P-Gerindra-PKS saat ini kemungkinan akan bertambah “gemuk” lagi karena dipastikan seluruh partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen akan ikut dalam koalisi ini. Jika kenyataannya demikian, maka koalisi antarpartai yang akan mengusung pasangan calon kontestan di Pilkada DKI Jakarta saja akan merepresentasikan lima gabungan kekuatan politik, yaitu PDI-P, Gerindra, PKS, PAN, PPP, PKB dan Golkar. Bentukan koalisi parpol yang “gemuk” jika seandainya ini terjadi, maka parpol lebih terlihat berorientasi pragmatis untuk mengamankan status quo kekuasaan mereka di setiap wilayah atau paling tidak mereka bisa diakomodasi dalam sistem kekuasaan.
Godaan politik memang lebih kuat dibanding bagaimana parpol membangun jalur aspirasi politik yang lebih luas kepada masyarakat. Jika parpol kemudian hanya dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan atau sekedar mempertahankan status quo mereka dalam sistem pemerintahan, maka parpol sudah menjerumuskan dirinya kedalam apa yang disebut Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki”. Parpol tidak lagi mampu menjadi kekuatan penyeimbang dalam sistem pemerintahan. Sistem perwakilan yang dijalankan hanya diatur oleh kekuasaan dan kepentingan segelintir elite partai yang ada di pusat. Kondisi ini jelas tidak mencerminkan kondisi demokrasi dalam sebuah sistem politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H