Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahasa "Topeng" dan Euphimisme Politik

30 Mei 2016   11:18 Diperbarui: 30 Mei 2016   11:26 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa sebetulnya merupakan cermin dari budaya suatu komunitas atau suatu bangsa. Ibarat  sebuah cermin, bahasa memantulkan entitas nilai, tradisi, norma atau adat-istiadat yang melingkupinya. Semakin baik dan tidak terdistorsi bahasa itu, maka semakin bersih pula pantulan cermin yang dipancarkan. Melalui bahasa, benda-benda atau orang-orang sekelilingnya dirajut dengan pemberian nama atau label, sehingga melalui pelabelan ini manusia berkomunikasi serta membangun makna-makna yang dibungkus dalam bahasanya sendiri. Bahasa merupakan medium komunikasi antara dirinya dengan orang lain atau bisa saja bahasa dipergunakan untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Sebagai medium, bahasa tak ubahnya seperti bentuk ekspresi dan eksternalisasi seseorang agar dirinya dipahami dan diterima oleh orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Dalam sebuah masyarakat politik (polity), kita seringkali menyaksikan bahasa-bahasa baik lisan maupun tulisan yang bisa jadi pengertiannya tidak sesuai atau memiliki makna lain sehingga penggambaran mengenai entitasnya bisa saja berbeda. Dalam terminologi kebahasaan, terdapat pengertian bahasa euphimisme, dimana bahasa seperti ini menjadi pelembagaan suatu entitas atau pengertian secara lebih halus bahkan penggambarannya bisa sama sekali berbeda, meskipun entitas atau pengertiannya sendiri tidak berubah. Euphimisme seringkali kita dengar dalam bahasa lisan, seperti: “alis bak semut beriring”, “bibir bagai delima merekah” atau dalam bahasa yang terkadang dianggap bukan makna sebenarnya, tetapi memiliki konotasi yang sama sekali berbeda, seperti: “biar harimau di dalam, kambing juga yang dikeluarkan”.  Atau dalam bahasa tulis, seperti: “hormatilah pejalan kaki”, “stok barang aman, harga tidak akan naik”. Bahasa-bahasa yang lisan dan tulisan diatas merupakan sebuah euphimisme meskipun dalam penggunannya secara publik memiliki konotasi yang berbeda sama sekali maksudnya.

Kita juga sudah mengenal euphimisme dalam istilah bahasa praktek korupsi, seperti: “apel malang”, “apel washington”, “bos besar”dan “daging busuk” merupakan sederet bahasa yang justru tidak mengandung makna sebenarnya. Ungkapan ini menunjukkan adanya praktek berbahasa untuk menampilkan pengertian lain dari pengertian sebenarnya yang dimaksud. Dengan melihat kepada konteks kebahasaan diatas, berarti bahasa tidak menunjukkan sesuatu yang jernih dalam dirinya. Sudah menjadi “kodrat bahasa” bahwa ia hadir dalam sebuah entitas budaya sebagai hal yang tidak transparan, tersembunyi dan tidak apa adanya. Lebih rumit lagi jika kemudian bahasa diseret dan dilabeli predikat “politik” prinsip bahasa sebagai cermin identitas sebuah komunitas atau bangsa bisa menjadi lenyap sama sekali.

Praktek bahasa yang mengambil sesuatu yang lain dari yang dimaksudkan atau lain dari yang sebenarnya bisa disebut—dengan meminjam istilah Ben Anderson—sebagai “bahasa topeng”. Predikat bahasa topeng akan lebih kentara ketika dihubungkan dalam sebuah komunikasi politik, dimana politik memiliki konotasi atas penguasaan (control) atas segala hal yang tak ternilai harganya. Hal-hal yang dipandang tak ternilai adalah segala sesuatu yang untuk mempertahankannya, orang-orang cenderung berani mempertaruhkan jiwa dan raganya. Dalam suatu komunikasi politik kita bahkan sering melihat, membaca atau mengamini istilah-istilah kebahasaan yang diungkap ke publik oleh para penguasa, bahkan bahasa-bahasa tersebut meskipun bertolak belakang dengan kenyataan selalu dibela habis-habisan oleh para pengikutnya tanpa mengkritisi atau menilai sebuah bahasa itu memiliki nilai kesesuaian atau tidak. Kita misalnya sering dihadapkan oleh kondisi jelang Ramadhan dengan bersiap-siap menyambut kenaikan harga bahan-bahan pokok, tetapi bahasa yang dipergunakan penguasa selalu bernada sama: “Harga tidak akan naik, karena stok aman”. Padahal, kenyataannya, barang-barang menjelang Ramadhan sudah menjadi hal lumrah akan selalu naik, bukannya aman, apalagi turun.

Baru-baru ini kita disodorkan oleh bahasa euphimisme, misalnya seperti: “parpol itu ibarat mobil mewah dan kita ini ibarat bus”. Jika bahasa ini kita tarik kedalam ranah komunikasi politik, maka bisa saja istilah ini dimunculkan sebagai “bahasa topeng” yang dipergunakan untuk memperlihatkan seakan-akan kesederhanaan, pro-rakyat atau anti-korupsi sengaja dilabeli oleh seorang penguasa, padahal bisa jadi bahasa itu sekedar “topeng” yang menutupi entitas yang terkandung dalam bahasa yang diungkapkannya. Analogi pengistilahan dari kata “mobil mewah” dan “bus” merupakan euphimisme kebahasaan yang ketika diungkap ke publik dalam momen tertentu sangat bernuansa politis. Jika kita maknai secara politis, bisa saja bahwa istilah “bus” yang disampaikan merupakan kendaraan yang bisa diisi banyak orang, bisa siapa saja tanpa melihat kepada status sosial yang disandangnya. Berbeda ketika ungkapan bahasa “mobil mewah” yang berkonotasi sedikit penumpang dan terbatas pada kelas atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Sebagai sebuah “bahasa topeng” yang memiliki implikasi politik, bahasa-bahasa yang diungkap para penguasa dalam ruang publik seringkali menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Terlebih bagi yang pro, dimana implikasi politik dalam sebuah “bahasa topeng” dimaknai oleh mereka sebagai entitas yang tak ternilai harganya sehingga kecenderungan pembelaan yang tanpa reserve seringkali justru nampak sangat berlebihan. Sebagai sebuah medium sosial, bahasa sah-sah saja dipraktekkan dalam konteks apapun karena bahasa seseorang pasti akan mengidentifikasi atau mengatribusi segala macam hal yang ada di sekelilingnya, bisa bermakna sosial atau politik. Hanya saja, jika pesan dalam bahasa itu tidak mencerminkan makna yang sesungguhnya, dengan sendirnya ia terdistorsi menjadi “bahasa topeng” yang bernilai ketidakjujuran atau bahasa penipuan kepada orang banyak sehingga publik semestinya berhak untuk mengkoreksi. Dalam realitas sosial-politik seperti sekarang ini, publik pasti sudah lebih cerdas dalam menilai mana “bahasa topeng” dan mana bahasa kejujuran yang diungkap oleh seseorang, terlepas apakah dia tokoh masyarakat, agamawan terlebih seorang penguasa yang memiliki simpatisan dibelakangnya.

Wallahu a’lam bisshawab       

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun