Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membongkar Kebuntuan Sistem Partai Politik

26 Mei 2016   13:06 Diperbarui: 26 Mei 2016   13:12 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu, Arif Wibowo pernah menulis: “Kalau anda kader partai yang telah mengabdi dan berdedikasi kepada partai, berjuang untuk kepentingan rakyat, kemudian datang pendatang baru dengan membawa uang satu gerobak, sampeyan dikalahkan di lapangan saat pemilu, lantas apa gunanya kaderisasi di partai politik?”.

Fenomena yang digambarkan oleh Arif tentang mekanisme politik kepartaian terutama dalam hal rekruitmen elite partai, baik yang akan mengisi posisi di legislatif ataupun eksekutif  terkadang seringkali bertolak belakang dengan konsep demokratisasi. Para pemimpin partai cenderung otoriter dalam mengambil keputusan soal penentuan elite partai dan mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar. Publik tentu tidak akan menutup mata mengenai soal ini, bahwa kenyataannya adalah banyak kader-kader partai yang sudah mengabdi dan mendedikasikan dirinya untuk partai dalam rentang waktu yang cukup lama, malah justru bisa disalip oleh segelintir orang yang oleh karena dia “the have” maka akan lebih mudah  diproyeksikan sebagai elite partai, sekalipun bukan berasal dari kader partai atau bahkan bukan seseorang yang paham betul mengenai kepolitikan. Kondisi inilah yang kemudian banyak melahirkan elite-elite partai yang instan. Mereka terbentuk sebagai elite-elite politik yang by accident, bukan melalui proses yang by design.

Bermunculannya para politisi “artifisial” dalam tubuh partai tentu menghambat proses demokratisasi yang saat ini sedang berjalan. Padahal, ciri politik kepartaian di Indonesia lebih mengarah kepada partai massa, dimana para elite partai biasanya terbentuk dari serangkaian uji kaderisasi internal partai secara natural dengan berbasiskan massa, bukan berdasarkan pada pengaruh apakah dia berafiliasi kepada golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Model partai massa yang saat ini terwujud dalam sistem politik Indonesia semestinya tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kemenangan dalam pemilu saja, tetapi bagaimana memberikan pendidikan politik yang baik kepada anggotanya sebagai proses pembentukan elite politik yang langsung direkrut dari massa. Wujud sesungguhnya dari demokrasi secara internal (intraparty democracy) dalam mekanisme politik kepartaian di Indonesia belum benar-benar ada, sehingga wajar jika muncul kemacetan-kemacetan di tubuh internal partai seringkali terjadi, terutama dalam hal rekruitmen kepemimpinan. Partai-partai kehilangan kadernya yang terbaik, bahkan kader-kader terbaik yang sudah ada dilingkungan internal partai-pun justru dibuang dengan alasan tidak konsisten dengan arah kebijakan pimpinannya.

Mekanisme sistem kepartaian yang demokratis seharusnya dibangun berdasarkan corak bottom up bukan top down. Parpol adalah bentukan rakyat, segala sesuatunya menjadi besar karena rakyat dan maju mundurnya sebuah parpol adalah karena rakyat. Oleh karena itu, para elite partai seharusnya dapat menangkap aspirasi rakyat secara lebih baik bukan malah sebaliknya, saat ini parpol malah banyak yang cenderung elitis. Kebijakan-kebijakan partai mengenai nominasi kontestan politik yang diproyeksikan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam puncak kekuasaan atau kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan mekanisme persetujuan atau penolakan regulasi lebih banyak diatur atau ditentukan oleh keputusan pimpinan pusat partai, bukan berdasarkan penjaringan lewat aspirasi masyarakat. Hal inilah kemudian yang semakin menjadikan gumpalan kebuntuan sistem politik kita semakin mengeras sehingga sulit sekali diurai. Parpol yang semestinya membangun pilar-pilar demokrasi justru dalam internal-nya telah menggerus proses demokratisasi itu sendiri.     

Saat ini partai politik (parpol) sedang giat-giatnya menjaring calon-calon pemimpin untuk diikutkan dalam kontestasi Pilkada serentak yang akan digelar tahun 2017 mendatang. Mekanisme rekruitmen para calon kepala daerah masih di dominasi oleh proses penjaringan lewat parpol, meskipun fenomena kontestan independen sudah mulai meramaikan bursa calon kepala daerah pada Pilkada kali ini. Saya melihat justru banyak bermunculan para “pemain baru” yang bukan berasal dari kader partai, tetapi malah diusung oleh parpol sebagai kontestan dalam Pilkada. Para pemain baru itu bisa saja berasal dari tokoh masyarakat, artis, pengusaha atau bahkan dari kalangan militer. Kondisi rekruitmen yang dilakukan parpol dalam menjaring calon pemimpin sebenarnya tidak hanya untuk kontestan kepala daerah, tetapi juga sama dilakukan ketika menjaring calon-calon legislatif. Kita seringkali menyaksikan ketika disodorkan sederetan nama-nama pada surat suara disaat pemilu berlangsung, banyak deretan nama-nama yang muncul, bisa jadi pengusaha, orang kaya atau  anak-istri pejabat yang justru tidak memiliki kaitan dengan parpol tersebut, apalagi dia seorang kader parpol. Ketika mekanisme demokrasi saja tidak bisa dijalankan pada sisi internal parpol, lalu bagaimana bisa demokrasi berjalan dalam keseluruhan sistem politik kita yang sudah ada?

Kita tentu ingat, semenjak reformasi digulirkan di negeri ini, banyak sekali implikasinya terhadap perubahan dan kemajuan yang tercermin dari sistem politik kita, utamanya adalah peran parpol yang sampai saat ini berfungsi menjadi semacam class garde(penjaga kelangsungan sistem) dalam seluruh pranata sistem politik. Era keterbukaan publik akibat pengaruh dari demokratisasi politik semakin memudahkan dalam membuka ruang-ruang aspirasi politik dalam masyarakat, sehingga munculnya beragam parpol yang terbentuk harus dimaknai sebagai ekses dari demokratisasi itu sendiri. Regulasi-regulasi mengenai sistem politik dalam kaitannya dengan pemilihan umum juga telah menunjukkan banyak kemajuan yang cukup berarti, baik dari sisi proses penyeleksian, penyelenggaraan dan pengawasan yang dilaksanakan secara independen dan terbuka.

Kondisi demokratisasi politik yang sudah terbangun selama ini, hendaknya berjalin berkelindan dengan pergerakan demokratisasi secara internal dalam parpol. Parpol adalah cerminan rakyat, sehingga proses demokratisasi seharusnya berasal dari sini. Dalam soal rekruitmen pemimpin politik, parpol bisa saja meniru model pemilihan pendahuluan (preliminary election) sebagaimana telah dijalankan di Amerika dan negera-negara lainnya di Eropa. Model ini lebih mengarah kepada mekanisme perekrutan hasil nominasi secara natural dalam masyarakat bukan berdasarkan keputusan pimpinan atau elite parpol. Saya kira, model ini cukup demokratis dalam hal penyerapan aspirasi dalam masyarakat, sehingga para calon pemimpin yang nantinya berasal dari parpol sudah benar-benar teruji, baik secara popularitas, elektabilitas atau perihal dedikasinya terhadap parpol dan masyarakat pendukung.

Wallahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun