Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempertanyakan Nasionalisme Kita

20 Mei 2016   06:36 Diperbarui: 20 Mei 2016   10:57 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Jika melihat sejarahnya, Harkitnas lahir bersamaan dengan berdirinya organisasi pergerakan nasional Budi Utomo pada 1908, berarti Indonesia sudah memperingati Harkitnas lebih dari satu abad! 

Waktu yang cukup lama untuk selalu mengingatkan kita bahwa jangan sampai semangat nasionalisme bangsa ini luntur dihujani penjajahan dalam bentuk modernisasi dan kapitalisasi. Tapi apa benar nasionalisme kita tidak pernah luntur? 

Nasionalisme bisa saja diapresiasi melalui kecintaan kita kepada tanah air, baik melalui dukungan dan kepercayaan terhadap hasil-hasil bumi atau pun apa saja karya kreatif anak bangsa yang berasal dari negeri sendiri. Nasionalisme juga bisa berarti memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas hasil karya anak-anak bangsa, baik itu produk, hasil pemikiran, hasil pekerjaan, atau apapun bentuknya yang penting kita selalu menghargai hasil karya anak bangsa. 

Lalu bagaimana dengan masih dilakukannya impor pangan, impor barang? bahkan impor pekerja asing? Atau mungkin impor ideologi? Jangan-jangan kita saat ini sudah melupakan jati diri kita sendiri sebagai bangsa Indonesia, bahkan seringkali terkadang bersikap malu menjadi Indonesia.

Dulu, kebangkitan nasional lahir ditengah kesewenang-wenangan praktik kolonialisme terhadap pribumi, di mana pribumi terus menerus mendapatkan tekanan dan penderitaan akibat dipaksa untuk menerima apapun yang diperintahkan pihak asing. Tanam paksa, kerja rodi, kooptasi atas produktifitas lahan-lahan subur milik pribumi dan banyak upaya-upaya paksa sehingga pribumi seperti pembantu di tanah airnya sendiri. 

Titik puncak nasionalisme Indonesia kemudian terwujud setelah Perang Dunia ke II dimana Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sentimen nasionalisme bangsa Indonesia bangkit akibat kesewenang-wenangan penjajah dan perlawanan atas kolonialisme. 

Istilah nasionalisme di Indonesia memang lahir dari sentimen anti-kolonialisme, berbeda dengan kebangkitan nasionalisme di Eropa yang ditandai oleh proses peralihan dari masyarakat feodal ke masyarakat industri. Di dunia Barat, nasionalisme sudah lebih dahulu hadir dengan apa yang kemudian dikenal dengan istilah “revolusi industri”.

Apa yang diistilahkan sebagai bentuk kolonialisme pada dasarnya merupakan dominasi penguasa pribumi dan memperalatnya untuk memperkaya diri sendiri. Dalam bentuk yang lebih baru, kolonialisme merupakan penguasaan asing atas model “indirect rule” di mana asing memperalat penguasa pribumi untuk tujuan-tujuan keuntungan tertentu. 

Masyarakat pribumi dijadikan objek pengurasan bahan dasar bagi industri asing yang sedang dijalankannya dan sebaliknya, barang-barang yang telah mereka buat dipasarkan di negeri kita sendiri. Kita pada akhirnya menjadi bangsa yang konsumtif, diberondong terus-menerus oleh barang-barang produksi asing sehingga kita-pun tidak sanggup membuat produksinya sendiri. Lalu dimana nasionalisme kita?  

Dalam sebuah majalah De Gids yang terbit pada 1908, Van Deventer menulis sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir tak ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan, dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarnya, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak terlalu sengsara, memadailah”.  

Kalimat-kalimat yang sudah ratusan tahun ini seakan menghentakkan kita, bahwa justru realitas kehidupan kita sekarang pun tetap demikian. Bangsa ini dihadapkan pada kondisi asal bisa makan, asal bisa kumpul, asal bisa kerja, asal kehidupan sehari-hari terpenuhi meskipun kurang sudahlah cukup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun