Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kajian pemikiran Islam dan kemanusiaan, Maarif Institute melakukan penelitian terhadap 29 kota-kota besar di Indonesia dengan tujuan untuk melihat sejauh mana kota-kota tersebut masuk dalam kategori “Islami”. Penelitian yang dilakukan organisasi yang punya hubungan sejarah dengan Muhammadiyah ini kemudian merilis hasil penelitiannya mengenai Indeks Kota Islami (IKI) pada 17 Mei lalu dengan menempatkan tiga kota besar, Yogyakarta, Bandung dan Denpasar sebagai kota Islami dengan index skor 80,64 dari 100, disusul kemudian dengan Kupang (59,39); Padang (58,37) dan Makasar (51,28) merupakan indeks IKI terendah.
Hasil penelitian ini tentu saja diluar dugaan banyak pihak, ketika beberapa kota besar yang dianggap tidak mencerminkan “prilaku” Islami justru menempati peringkat tertinggi dalam hasil penelitian ini. Ternyata, ukuran yang dilakukan dalam penelitian kali ini, IKI tidak diukur berdasarkan prilaku masyarakatnya, islami atau tidak, tetapi diukur berdasarkan tata kota dan yang berhubungan dengan tingkat pendidikan yang baik, kesehatan yang memadai dan transparansi kepemimpinan di kota tersebut. Jadi, indikasi survey yang dilakukan oleh Maarif Institute lebih kepada mengukur model peradaban, kebudayaan atau penataan masyarakat perkotaannya berdasarkan kepada ukuran nilai-nilai keislaman. Nilai-nilai keislaman yang dimaksud adalah bersifat universal, dimana Maarif Institute berpedoman kepada makna Islam rahmatan lil alamin yang masih mengandung makna multi-tafsir.
Sebagai organisasi yang memiliki keterikatan dengan Muhammadiyah yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh, Maarif Institute nampaknya ingin memperkuat pendapat Abduh sebelumnya yang menyatakan bahwa Kota Paris ternyata lebih islami dibanding Mesir atau kota-kota berpenduduk muslim lainnya di Timur Tengah. Sang pembaharu Islam Muhammad Abduh yang mempengaruhi pergerakan kelahiran Muhammadiyah di Indonesia, beberapa tahun mengenyam pendidikan di Paris, Perancis. Abduh berhasil melakukan dakwahnya di Paris, dan banyak warga Paris pada waktu itu terkesima oleh ajaran-ajaran dan pemikiran yang dibawa oleh Abduh. Islam dianggap sebagai ajaran yang sangat luhur, berkarakter, detil dalam hal-hal moralitas, memiliki citra humanis dan yang paling penting memiliki relevansi dengan konteks modernisme pada waktu itu. Prinsip-prinsip ajaran Islam yang dibawa Abduh ke Paris menyedot perhatian banyak para intelektual muda yang kemudian menyatakan diri masuk Islam dan menjadi murid-murid setia Abduh. Sepulang dari Paris, Abduh kemudian menyaksikan betapa Mesir sebagai kota yang berpenduduk mayoritas muslim, justru tidak mencerminkan kota islami, sebagaimana yang dia saksikan di Paris.
Kontekstualisasi pemikiran Muhammad Abduh mengenai apa yang digambarkan sebagai kota islami bisa saja mempengaruhi anak-anak muda Muhammadiyah yang berada di Maarif Institute dan berkeinginan merekontruksi pendapat Abduh mengenai kota islami yang pernah diungkapkan Abduh kepada Kota Paris. Abduh memang tidak melihat kepada prilaku warga Paris dalam melihat realitas keislaman, tetapi Abduh mengukur kepada tata kota, kebersihan, keamanan, ketertiban dan tingkat pendidikan yang berpengaruh terhadap peradaban dan budaya yang terbangun dalam kota tersebut. Abduh memberikan penilaian berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam makna rahmatan lil alamin, sebagaimana kemudian yang direkontruksi oleh Maarif Institute.
Memang, banyak pihak yang tidak sependapat dengan apa yang dirilis oleh pihak Maarif Institute mengenai IKI. Sebab, jika yang diukur hanya tata kota, peradaban atau budaya dan tingkat transparansi pemerintahannya, tidak bisa secara sederhana memasukkan indikator keislaman di dalamnya. Nilai-nilai Islam yang universal, sebagaimana yang dilakukan Abduh dalam penilaian Kota Paris, juga mengangkat prilaku masyarakatnya yang islami, berdasarkan kebiasaan dalam hal kebersihan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas serta kesadaran masyarakat akan nilai-nilai yang dianggap baik sehingga prilaku masyarakat Paris juga masuk dalam kategori islami. Universalitas nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam seharusnya tidak direduksi hanya dalam wujud tata kota atau kemajuan peradaban dan kebudayaan saja. Nilai-nilai Islam yang universal telah mengakar dalam pribadi umat muslim dan lingkungannya sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw ketika membangun peradaban di Kota Madinah.
Islam sebagai entitas agama dan Islami sebagai nilai-nilai keislaman memang memiliki konotasi yang berbeda, meskipun sama-sama memiliki keterikatan yang fundamental dan akurat berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Dalam konteks kekinian, seringkali ketika bicara dengan labelisasi “Islam” dalam beberapa hal lebih bernilai sugesti atau kecurigaan berbeda dengan membicarakan sesuatu yang “Islami” yang relatif lebih aman dan cenderung berimplikasi nilai-nilai kebaikan yang universal. Kita mungkin seringkali disuguhkan istilah-istilah, seperti “kota islami”, “partai islami”, “pendidikan islami” atau apapun bentuknya dengan tujuan mengangkat citra ajaran-ajaran Islam yang universal sehingga pasti akan memiliki pemahaman yang positif. Tentu kita akan sedikit dilecehkan atau dicurigai banyak pihak ketika membuat sesuatu perumpaan tidak dibarengi oleh kata “islami”. Semangat mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman yang universal seharusnya tidak tercerabut dari akarnya, bahwa “Islam tidak hanya sekedar teologi atau kepercayaan, tetapi merupakan tata nilai dan sekaligus peradaban yang komplit”, demikian ungkapan terkenal HAR Gibb dalam sebuah karya monumentalnya, Wither Islam.
Apa yang dilakukan oleh Maarif Institute dalam melakukan penelitian tentang IKI patut kita hargai sebagai sebuah kekayaan intelektual, dimana kita sebagai umat Islam harus selalu bercermin kepada peradaban dan budaya yang lebih luhur yang lebih baik, meskipun bukan berasal dari negeri-negeri mayoritas muslim. Umat Islam seharusnya menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang kurang dari diri kita, sehingga perlu tambahan-tambahan “energi islami” yang dapat memacu pribadi muslim yang lebih baik. Hanya saja, indikator untuk menentukan “kota islami” dari versi yang dilakukan Maarif Institute seharusnya ditambah tidak hanya terfokus kepada tiga indikator sehingga tidak menimbulkan polemik di ruang publik. Tetap saya sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh pihak Maarif Institute sebagai informasi berharga bahwa kota-kota yang dianggap bukan mayoritas muslim ternyata memiliki seperangkat nilai-nilai Islam universal yang dilaksanakan.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H