Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga antirasuah yang bersifat independen, terlepas dari pengaruh dan intervensi kelompok tertentu atau lembaga manapun, termasuk bebas dari intervensi negara. KPK diisi oleh orang-orang yang juga independen berasal dari unsur masyarakat yang memiliki integritas terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Komisi antirasuah yang dibentuk pada 2002 silam telah menorehkan banyak prestasi dalam mengatasi dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menggurita selama ini. Namun demikian, sebagai lembaga negara yang independen, tetap saja KPK sering tersandung masalah, terutama diakibatkan oleh para pimpinannya yang justru terkadang kurang adil.
Kasus sandungan pimpinan KPK sudah dimulai ketika awal-awal KPK pertama kali dibentuk. Tahun 2009 lalu, Antasari Azhar sebagai pimpinan KPK waktu itu tersandung kasus pembunuhan dan berujung pemberhentian Antasari oleh Presiden SBY sebagai pimpinan KPK. Kemudian pada 2015 lalu, dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto tersandung kasus hukum bahkan terlibat konflik dengan institusi kepolisian sehingga keduanya diberhentikan sebagai pimpinan KPK.
Tersandungnya para pimpinan KPK jika dilihat secara jernih terdapat indikasi adanya “keberpihakan” secara personal para pemimpinnya sehingga netralitas KPK sebagai lembaga independen belum seutuhnya terbentuk. Belakangan, KPK yang baru seumur jagung dibawah pemerintahan Jokowi, malah mulai dirundung kasus pencemaran nama baik yang dilakukan salah satu pimpinannya, Saut Situmorang. Saut dituding mencemarkan nama lembaga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akibat pernyataannya yang kurang patut terhadap lembaga mahasiswa tertua di Indonesia ini. Saut disomasi oleh HMI terkait pernyataannya yang mendiskreditkan para alumni HMI yang saat ini banyak menempati posisi strategis dalam kekuasaan.
Sejauh ini, kita memang agak kesulitan menilai lembaga negara yang benar-benar bersikap netral dalam menjalankan tugasnya. Padahal, netralitas itu perlu dijaga apalagi lembaga tersebut merupakan lembaga hukum. Dari serangkaian kasus yang menimpa pimpinan KPK sejak lembaga antirasuah ini dibentuk, netralitas yang dibawa oleh para punggawanya senantiasa diuji.
Saat ini, publik banyak mengeluhkan soal netralitas para penegak hukum sehingga kepercayaan publik tarhadap aparat penegak hukum yang ada bisa dikatakan melemah. Publik senantiasa berharap, bahwa KPK lah satu-satunya lembaga hukum yang dapat memberikan rasa keadilan masyarakat dengan memberantas para koruptor-koruptor yang sudah banyak menyengsarakan rakyat dan merusak sistem demokratisasi yang sedang berjalan di negeri ini. Kasus Saut yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kelompok tertentu telah membawa lembaga antirasuah ini seakan tidak netral dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia.
Asumsi saya, kasus yang menimpa Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto begitu kuat mendapat respon publik dan publik pada kenyataannya membela kasus ini sebagai bentuk “kriminalisasi” terhadap KPK, berbeda terbalik dengan kasus Saut yang seakan-akan justru publik menilai pernyataan Saut adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Padahal, keduanya mempunyai implikasi hukum yang sama, bahwa ada sekelompok masyarakat yang keberadaannya justru terusik sehingga rasa keadilannya terganggu.
Hal ini tidak akan terjadi jika para pimpinan KPK justru lebih mengedepankan aspek netralitas dan mampu mengedepankan rasa berkeadilan terhadap publik. Bagi saya, jika HMI kemudian merasa terusik oleh pernyataan Saut, justru mereka dalam rangka mencari keadilan, bukan karena hal ketidaksukaan mereka kepada Saut apalagi KPK. Langkah HMI yang kemudian melaporkan Saut ke pihak berwajib seharusnya diapresiasi sebagai langkah positif agar KPK lebih bersikap netral nantinya.
Sebagai lembaga negara yang independen, KPK juga seharusnya mampu membuat terobosan-terobosan penting dalam hal penanganan korupsi, tidak bersikap “tebang pilih” terhadap kasus-kasus tertentu yang terindikasi korupsi. Saya melihat, KPK tampaknya lebih mengedepankan proses Operasi Tangkap Tangan (OTT) dibanding aspek koruptif lainnya yang bersifat investigatif. Kasus OTT yang berhasil diungkap KPK jika melihat kepada jumlah kerugian negara tidak sebesar jumlah kasus investigatif yang semestinya dapat diungkap ke publik.
Publik mungkin bisa menilai, hasil OTT yang dilakukan KPK dengan energi yang begitu besar tidaklah sebanding dengan nilai yang didapat jika beberapa kasus investigatif yang lebih “bernilai” dibidik oleh lembaga anti rasuah ini. Saya yakin, publik pasti tahu mana kasus-kasus terindikasi korupsi yang seharusnya segera diselesaikan investigasinya oleh KPK.
Tidak semestinya KPK juga ikut berkomentar terhadap hal-hal kecil menyangkut keterlibatan korupsi para pemimpin politik yang disebut-sebut sebagai “orang cerdas” tapi “jahat” apalagi ditambah dengan mendiskreditkan kelompok tertentu. Karena sangat naif jika menghubungkan kecerdasan dengan kejahatan seseorang ketika sudah berada dalam lingkaran kekuasaan.
KPK seharusnya mulai membangun dan memperkuat netralitas dan independensi sebagai lembaga hukum yang mempunyai kekuatan besar dalam hal penegakkan keadilan, khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Janganlah kemudian terulang lagi kasus-kasus masa lalu yang menjerumuskan para pimpinan KPK sehingga mencoreng netralitas lembaga antirasuah ini.
Serangkaian kasus-kasus terdahulu seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk para pemimpin KPK saat ini, sehingga KPK mampu menjadi garda terdepan yang independen dalam mengusut dan membongkar kasus-kasus korupsi yang telah membawa kemacetan seluruh sistem di negara ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H