Saat ini di Jakarta sedang berlangsung International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) dengan tujuan untuk membentuk ulama-ulama moderat yang dapat menjadi tauladan umat Islam diberbagai penjuru dunia. Acara yang digagas oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menghadirkan kurang lebih 400 ulama yang berasal dari berbagai belahan negara di dunia.
PBNU nampaknya mensinyalir adanya kekuatan radikalisme Islam yang dianggap sebagai bentuk dari paham konservatif yang sengaja dibenturkan dengan kekuatan barat (baca: non-Islam) sehingga memunculkan aksi-aksi teror terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan pemikiran atau pemahamannya. Paham radikalisme pada tahap tertentu yang ada dalam pikiran seseorang apalagi seseorang itu dianggap ulama ketika disampaikan kepada para pengikutnya yang setia tentunya akan melahirkan aksi-aksi sepihak yang justru akan menambah semakin banyaknya aksi teror yang berasal dari pemahaman radikalisme itu sendiri.
Islam yang perkembangannya dimotori oleh para ulama diajak oleh PBNU untuk duduk bersama menyamakan persepsi mengenai bagaimana menjadi seorang yang moderat ditengah arus globalisasi pemikiran yang multi-paradigmatik saat ini. PBNU dalam perhelatan kali ini, menggunakan istilah “Islam moderat” sebagai bentuk pemahaman yang berada pada posisi “ jalan tengah” diantara dua ujung pemikiran, antara radikalisme-konservatif dan liberalisme-kapitalis. Dalam khazanah ke-Nu-an, istilah moderat atau “tasamuh” dalam bahasa Arab dipergunakan NU bahkan sejak awal berdirinya organisasi Islam terbesar di dunia ini.
Adalah KH Hasyim Asy’ari, sebagai tokoh kunci dalam membentuk pergerakan moderasi Islam, terutama di Indonesia. Melalui pemikiran-pemikiran KH Hasyim yang tersebar dalam beragam literaturnya kemudian menjadi pedoman oleh kalangan NU yang kemudian dikenal dengan istilah “aswaja” (ahlusunnah wal jamaah). Konsep ini ditengarai merupakan konsep moderasi Islam Indonesia yang senantiasa dipegang teguh oleh ulama kalangan NU bahkan sampai saat ini.
Sejauh ini, istilah “Islam Moderat” nampaknya menjadi istilah yang terdistorsi bahkan dimonopoli oleh kalangan NU. Beberapa kalangan NU mengklaim bahwa kelompoknya-lah yang seharusnya dianggap mampu menjadi moderat, karena dalam banyak hal, mereka selalu dapat membangun toleransi baik dengan adat-istiadat atau budaya setempat bahkan dengan kalangan agama lain. Konsep moderasi Islam ini kemungkinan mengambil dari QS.2:143 yang menyatakan bahwa kelompok moderat digambarkan sebagai “ummatan wasatho” (umat yang ditengah-tengah, umat terbaik) dan inilah umat yang sesungguhnya yang senantiasa menjadi dambaan dalam konteks bagaimana berbangsa dan bernegara. Padahal, Islam moderat seharusnya bukanlah cap atau milik kelompok tertentu, tetapi milik siapapun yang mampu memberikan sikap adil dalam konteks apapun. Seseorang yang mampu bersikap adil terhadap sesamanya, maka dia merupakan orang yang moderat.
Saat ini, dalam realitas sosial, justru kita sangat sulit mencari sosok ulama yang moderat. Ulama yang mampu bersikap adil dalam segala hal, tidak oportunis dan tidak pula ekstrimis. Sikap moderat bagi saya bukan hanya berasal dari “jalan kompromi” antara dua titik ekstrim, tetapi sikap moderat merupakan kemampuan seseorang dalam berlaku adil terhadap sesamanya. Saya justru seringkali menyaksikan banyak ulama-ulama yang justru terjebak kedalam sikap oportunistik dengan memanfaatkan kepopuleran seseorang demi mengeruk keuntungan pribadi dan justru banyak ditunjukkan oleh ulama-ulama dari kalangan NU sendiri. Saya tidak akan menyebut siapa saja tetapi bagaimana para ulama ini kemudian bersedia menerima kunjungan seorang pemimpin partai politik ke pesantrennya, tetapi tentu saja dengan mengharap “imbalan” yang sesuai. Lalu apakah ini disebut sebagai sikap moderat?
Membentuk ulama yang moderat tidak juga harus dihadapkan pada konteks radikalisasi yang saat ini menjadi momok di dunia internasional dengan klaim terorisme sepihak. Islam dianggap oleh sementara golongan dengan citra “teroris” padahal iklim terorisme itu tumbuh subur karena ada upaya ketidakadilan yang dilakukan dunia internasional terhadap umat Islam sendiri.
Jika upaya NU dengan mengumpulkan para ulama dunia “yang moderat” dengan memilah-milah orangnya, justru secara tidak langsung mencerminkan ketidakadilan dan klaim sepihak. Saya belum begitu memahami, istilah moderat seperti apa yang ingin digulirkan NU pada ajang konferensi kali ini. Apakah NU mengangkat kembali istilah moderat yang telah digulirkan pendirinya KH Hasyim Asy’ari?ataukan NU akan mereformulasi kembali konsep moderasi Islam dan disesuaikan dengan masa kini?
Bagi saya, moderat tidak hanya berjalan pada tataran konsep atau pemikiran, tetapi moderat harus dibuktikan oleh sikap dan prilaku dengan mengedepankan sikap toleransi yang berkeadilan. Toleransi tidak hanya ditunjukkan kepada umat lain yang berbeda agama, tetapi toleransi juga harusnya dibangun dengan menunjukkan penghormatan terhadap perbedaan pendapat yang ada dalam satu agama.
Kita bisa melihat, seluruh ulama-ulama fiqh abad pertengahan Islam, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal merupakan contoh nyata ulama moderat pada zamannya. Mereka tidak hanya bersikap moderat terhadap pemeluk agama lain, tetapi lebih dari itu bersikap adil dan toleran terhadap umat Islam sendiri. Pemikiran fiqh yang sarat dengan perbedaan mampu dijembatani oleh para imam madzhab ini sehingga Islam dapat tampil dengan wajah yang justru lebih moderat.
Saya justru melihat bahwa Islam Indonesia yang selama ini ada telah menunjukkan wajah yang paling moderat diantara negara-negara muslim lainnya dibandingkan negara-negara yang berada di wilayah Timur Tengah. Moderasi kaum muslim Indonesia sanggup menyuguhkan jiwa toleransi yang tinggi dan berkeadilan terhadap umat-umat agama lain dan bahkan terhadap umat Islam sendiri di tanah air. Kemunculan kelompok ekstrimis Islam yang kemudian memicu aksi terorisme yang muncul belakangan tidak sampai memecah belah konsep berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi.
Indonesia dianggap negeri paling aman dari serangkaian aksi perang saudara yang diangkat melalui isu SARA dibanding negara-negara yang mayoritas muslim lainnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Indonesia melalui PBNU menggagas konsep ulama moderat bagi seluruh bangsa yang penduduknya mayoritas muslim. Hanya saja, konsep moderat ini jangan dianggap milik satu kelompok atau penafsirannya dimonopoli oleh pihak tertentu. Jadikanlah Indonesia sebagai contoh bagi penduduk muslim terbesar di dunia dengan menampilkan wajah moderat, sehingga bentuk-bentuk intoleransi dan ekstrimisme benar-benar tidak hidup di Nusantara ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H