Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Untuk Mengukur Kualitas Seseorang, Lihatlah Caranya Berbicara!

18 April 2016   10:16 Diperbarui: 18 April 2016   19:20 7606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber gambar: opensource.com"][/caption]Kita tentu masih ingat bahwa WS Rendra pernah menulis sebuah syair: Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.

Bait syair ini secara makna mempunyai implikasi yang sangat dalam terutama terletak pada baris bait: “pelaksanaan kata-kata”. Syair ini hendak memberitahukan dan menunjukkan kepada kita bahwa setiap kata yang diucapkan seseorang tidaklah hadir menyendiri dalam sebuah ruang kosong, tetapi ia hadir dalam sebuah ruang aktivitas di mana terjadi proses dialogis di dalamnya. 

Oleh karena itu, setiap kata yang diucapkan seseorang, tentu mempunyai implikasi retorik, karena ketika hadir dalam sebuah ruang publik, kata-kata yang diucapkan bisa bernilai baik atau buruk; benar atau salah; jujur atau bohong bahkan kita dapat menilai berkualitaskah kata-kata itu atau tidak.

Berbicara sejatinya merupakan hasil dari serangkaian aktivitas berpikir seseorang yang kemudian dituangkan dalam medium lisan ataupun tulisan. Dalam medium lisan, berbicara umumnya berkaitan sedikit banyak dengan suasana batin atau psikologis seseorang apakah dia senang, benci, merasa takut, atau stress sehingga berdampak terhadap setiap kata yang diucapkannya terlebih jika dihadirkan pada ruang publik. Ketika berbicara, selalu terdapat dimensi internal dan eksternal.

Dimensi internal ialah situasi psikologis dan intensi atau kehendak pikir, sedangkan dimensi eksternal ialah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam wujud lahir, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada “orang lain”. 

Berbicara berarti melibatkan pikiran, emosi atau tindakan lain yang melingkupinya. Mengolah pikiran, emosi dan tindakan dapat menentukan output bahasa yang dipergunakan. Tepat seperti apa yang dikatakan Imam al-Ghazali, bahwa 'seseorang bisa selamat ketika menjaga apa yang keluar dari ucapannya' (salamatul insaan fi hifdzillisaan).

Belakangan, kita disuguhkan oleh media, sebuah tontonan “perang” retorika yang dilakukan sementara elite di negeri ini. Mereka berbicara dan lebih luasnya berbahasa sudah tidak lagi dilandasi aktivitas berpikir, namun hanya berlandaskan suasana batin dan psikologis sehingga kata per kata yang dilontarkan tidak lagi memperjuangkan esensi kebenaran tetapi justru menunjukkan rasa kebencian, kekhawatiran atau dalam tekanan sehingga mereduksi bahasa dan maknanya sendiri. 

Padahal, “bahasa menunjukkan kualitas pembicara”, sehingga semakin baik bahasa yang digunakan semakin baik pula kualitas orang yang berbicara tersebut. Tentu publik akan lebih dapat menilai dan membedakan sejauh mana kualitas seseorang ketika berkomunikasi dalam ruang publik. Komunikasi tentu saja tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi bisa juga dalam bentuk tulisan yang sering kita baca.

Belakangan ini, ada sementara pemimpin politik yang mengumbar kata-katanya karena mungkin dilandasi motif kebencian terhadap lawan politiknya, atau ada juga seseorang yang motifnya karena memang “menyukai” seseorang atau klik-nya sehingga kata-kata yang keluar tampak sebagai untaian kata-kata pembelaan yang terkadang dipaksakan. Namun yang lebih parah, ada juga yang berkata-kata tapi tidak jelas motifnya apa, bisa motif kebencian, politis atau karena “dukungan” terhadap seseorang.

Seperti yang pernah kita saksikan di media bahwa ada pemimpin politik atau elite yang melakukan “nazar politik”. Saya menyebut nazar politik karena biasanya kata-kata ini paling sering diucapkan politisi dan memiliki implikasi politis. Entah mungkin dalam rangka counter terhadap “kekuatan” politik lain yang dianggap sebagai tantangan bagi dia atau bisa saja karena beban psikologis yang sedang dialaminya.

Publik kemudian dapat menilai ketika “pelaksana kata-kata” dalam nazar politik tersebut tidak mampu dibuktikan. Implikasi lebih lanjut dari sebuah nazar politik adalah bahwa berbicara mempunyai landasan moral dan eskatologis, di mana seseorang yang berbohong atau bersumpah palsu merupakan tindakan kejahatan dan tergolong dosa.

Kebanyakan yang terjadi dari serentetan nazar politik yang ada hanya sebatas “kata-kata tanpa pelaksanaan” sehingga publik pun dapat mengukur kualitas dan kapasitas seorang pemimpin yang tidak melaksanakan nazarnya tersebut. Untuk sekadar melihat contoh saja, bahwa hampir setiap nazar politik tidak pernah dilaksanakan, seperti Nazar Anas Urbaningrum (menggantung diri di Monas), Nazar Amien Rais (Berjalan kaki dari Yogya-Jakarta), Nazar Habiburrokhman (Terjun dari Monas) dan Nazar Haji Lulung (Mengiris Kuping Sendiri). 

Padahal, mereka adalah “pejuang-pejuang” politik yang diamanati rakyat. Mereka merupakan kelompok elit dalam masyarakat yang “terpilih” sebagai corong penyambung lidah dan kata-kata rakyat dalam rangka berjuang bersama rakyat. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian WS Rendra membuat sebait syair yang menyebut “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Kata-kata yang tidak dilaksanakan oleh seseorang berarti mengingkari perjuangan itu sendiri.

Tidak hanya itu, jika kita amati semakin banyak pemimpin-pemimpin kita yang berbahasa atau berbicara lebih mengutamakan ekspresi ketimbang refleksi. Refleksi berbahasa akan berpijak pada aktivitas perenungan dan berpikir yang dalam, berbeda dengan ekspresi yang cenderung berasal dari luapan emosi yang minim logika. 

Asumsi saya, berbicara yang baik memang ditekankan dalam ajaran agama ataupun psikologi. Bahkan hal ini harus dibiasakan sejak kecil di mana para orang tua selalu membiasakan mengajarkan kata-kata yang indah dan benar kepada anak-anaknya, karena akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak kepada si anak. Menurut pengamatan, bahwa anak yang terbiasa menerima cacian atau umpatan, kelak ketika besar dia akan terbiasa mencaci dan mengumpat. Mungkin saat ini, kita bisa menilai bahwa orang-orang yang senang mencaci dan mengumpat boleh jadi merupakan kebiasaan yang dialami sejak dia masih kecil.

Jadi, berbicaralah yang santun, berbahasalah yang baik karena polusi bahasa ancamannya jauh lebih berbahaya dari polusi udara. Ibarat udara yang memerlukan oksigen, bahasa pun demikian, membutuhkan muatan makna yang benar, baik dan indah. Jika ketiga sifat itu bertemu, tentu akan melahirkan wacana yang sehat dan tidak membosankan.

Dengan demikian, publik tentunya dapat menilai sejauh mana kualitas pemimpin kita dilihat dari pembicaraan dan bahasa-bahasa yang diungkapkan di depan publik. Memberikan penghargaan terlebih pembelaan kepada seseorang yang dari sisi bicara dan bahasanya tidak baik, maka berarti dia sama saja kualitasnya dengan seseorang tersebut.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun