Menulis berbagai kondisi mengenai hiruk-pikuk sosial-politik di Jakarta serasa tidak pernah usang. Para Kompasianer terlihat giat memberikan porsi yang nampak sama kuat dalam membaca kondisi sosial-politik di Jakarta dan terutama yang berkaitan dengan sang gubernur kontroversial, Basuki Thahaja Purnama atau Ahok. Ulasan-ulasan para kompasianer mengenai hal ini selalu dihubungkan dengan “kursi panas” menuju pagelaran kontestasi Pilkada 2017 nanti. Bagi para pendukung Ahok, membaca realitas sosial-politik Jakarta tidak akan terpengaruh oleh ekses-ekses politik dari rentetan kasus-kasus beraroma korupsi yang mulai di arahkan pada Ahok, berbeda dengan mereka yang menolak Ahok, rentetan kasus-kasus yang menimpa sang gubernur ini bisa menjadi isu politik yang dipersiapkan paling tidak guna menjegal Ahok pada gelaran Pilkada DKI Jakarta nanti.
Kendati demikian, mengelola isu-isu secara baik sangat diperlukan bagi individu, kelompok-kelompok kepentingan atau partai politik jika tidak ingin terjebak dalam pemahaman “semu” atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Janganlah dianggap sepele isu-isu yang berkembang mengenai, misalnya, belum terpenuhinya solusi atas penggusuran-penggusuran di wilayah DKI Jakarta, penertiban-penertiban apapun yang dianggap “liar” oleh aparat, pembangunan reklamasi, kemacetan dan banyak hal lainnya yang membutuhkan jalan keluar yang solutif dalam membangun Jakarta lebih baik.
Jika Ahok masih mau dipilih nanti, seharusnya dia lebih jauh keluar menangkap aspirasi masyarakat lebih luas, tidak hanya sekedar mempercayai informasi dari kelompok pendukungnya sendiri. Informasi internal dari pendukung memang juga dibutuhkan, tetapi mereka hanyalah sebagian kecil dari masyarakat Jakarta, yang jika dihitung belum merupakan cerminan dari masyarakat secara umum.
Saya melihat, informasi-informasi yang dikumpulkan oleh para pendukukung Ahok dan Ahok sendiri terlihat kurang komprehensif, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang ditangkap juga sangat bias, bahkan terkesan “mendahului” tanpa diolah secara cermat dan akurat. Misalnya saja, kasus yang belakangan terjadi mengenai audit BPK atas pembelian lahan RS Sumber Waras yang bermasalah, Ahok sudah lebih dahulu membuat pernyataan, audit yang dilakukan BPK atas kasus ini “ngaco”.
Bahkan, setelah selesai diperiksa oleh KPK, para pendukungnya langsung beramai-ramai membuat pernyataan, “Ahok clear and clean”. Asumsi saya, penting dalam mengelola informasi secara tepat dan akurat, mendahului informasi atau terburu-buru mengambil kesimpulan bisa menjadi blunder bagi proses perjalanan Ahok menuju Kursi DKI 1 nanti. Merasa tahu semua informasi dan menganggap benar kesimpulan keseluruhan adalah “dusta”, sedangkan tidak mempercayai sedikitpun informasi-informasi yang berkembang dalam masyarakat adalah “sombong”.
Memang, menganalisis data dan informasi yang berkembang ditengah masyarakat adalah tugas yang sangat pelik bahkan sulit untuk bisa mendapatkan hasil yang baik jika tidak dilakukan secara seksama. Kesulitan mendapat informasi secara akurat diperparah oleh media yang cenderung kurang proporsional akibat terdapat “kepentingan” atau “dukungan” masing-masing media baik kepada partai politik, kontestan individu atau kelompok tertentu, sehingga informasi-informasi yang disuguhkan kepada publik sudah pasti bias. Asumsi saya, media adalah “corong politik” bagi pihak tertentu sehingga tingkat akurasi pemberitaanya juga perlu dipertanyakan. Jadi, informasi dari media massa dalam bentuk apapun tidak pernah ada yang “bebas nilai” karena selalu mengarah kepada kecenderungan-kecenderungan tertentu.
Mengelola informasi dengan baik dan seksama itu penting. Setiap kebijakan apapun yang dirumuskan oleh pemangku kepentingan, tentu berdasar dari serangkaian informasi yang dijadikan input dalam setiap pengambilan keputusan. Beragam bentuk informasi yang ada dalam masyarakat semestinya diolah, dianalisis dan ditemukan kesimpulannya, sehingga kemudian ditemukan pola dan struktur pesan yang tersurat maupun tersirat yang dapat diambil dari sekian banyaknya informasi.
Pemahaman terhadap sebuah informasi yang utuh dan akurat, sangat berdampak terhadap kebaikan bagi sebuah kebijakan. Saya melihat, bukti penggalian informasi yang tidak utuh sehingga menimbulkan kebijakan yang kurang tepat adalah soal perizinan pembangunan reklamasi dan pembelian lahan RS Sumber Waras. Lalu, apakah kebijakan bisa salah? Ya, kebijakan bisa saja salah akibat input yang didapat dari informasi tidak komprehensif.
Berita-berita di media massa yang dihubungkan dengan “kursi panas” DKI 1 saat ini terlihat begitu “liar” dan seringkali dianggap tidak rasional ketika ditangkap oleh setiap pendukung dari kontestan yang ada. Para pendukung setiap kontestan tidak lagi melihat dan mengolah keutuhan setiap informasi, tetapi lebih memilih bagaimana agar “jagoannya” itu menang dengan cara apapun.
Padahal, fanatisme berlebihan itu sangat berbahaya karena akan menabrak aturan-aturan, nilai, norma, ideologi atau konsensus yang sudah terbangun dalam sebuah masyarakat. Saat ini, justru yang saya tangkap adalah dukungan-dukungan terhadap Ahok melalui media yang diusung para pendukungnya sudah tidak lagi rasional dibanding para pendukung kontestan lainnya. Rasionalitas yang dimaksud adalah dalam menerima informasi, mengolah, menganalisa sehingga melahirkan sebuah kesimpulan yang utuh dan tidak memiliki bias atau pretensi apapun.
Asumsi saya, beragam informasi mengenai real kondisi masyarakat Jakarta dalam rangka membaca peluang “kursi panas” DKI 1 juga sedang dikumpulkan, diolah dan dianalisis oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan, bisa partai politik, individu, kelompok masyarakat atau para aktivis yang justru lebih menawarkan solusi atas isu-isu yang saat ini berkembang di masyarakat. Solusi yang akan ditawarkan kepada masyarakat Jakarta nanti bisa jadi bukan berupa dukungan kepada Ahok, tetapi mengusung kontestan lain yang dilihat dari sisi popularitas dan kefiguran diakui secara nasional dan tentunya lebih “clean and clear” secara politik. Kekuatan-kekuatan politik itu sudah muncul seperti dalam kesepakatan antara parlemen dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap penghentian proyek reklamasi, hasil laporan BPK terhadap kasus RS Sumber Waras yang sudah dibahas KPK dan diketahui presiden serta munculnya isu-isu destruktif mengenai praktek penggusuran di wilayah DKI Jakarta yang diamini oleh Ahok.