Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bisa dibilang sosok unik dalam gelaran kekuasaan politik di Indonesia. Tidak seperti para pejabat publik lainnya, Ahok dalam beberapa hal telah membuat dominasi-dominasi kekuasaannya sendiri yang disodorkan melalui “bahasa-bahasa” yang kadang agak sedikit nyleneh jika dihadapkan pada kondisi real konstelasi politik tanah air. Saya bilang dominasi, karena Ahok seringkali melontarkan bahasa-bahasa politik yang sama sekali tidak pernah dipergunakan oleh pejabat publik manapun, baik di pusat maupun daerah.
Saya melihat, bahasa-bahasa “politik” yang dipergunakan Ahok dipertontonkan dalam rangka menunjukkan dominasinya sebagai seorang penguasa, paling tidak sebagai penguasa lokal di Jakarta. Sebut saja misalnya tulisan atau ekspresi kata-kata Ahok ketika mengomentari struktur anggaran daerah yang diajukan DPRD DKI dengan menulis “nenek lu” atau “gila” dan mungkin masih banyak bahasa-bahasa yang semakin menunjukkan dominasi kekuasaannya. Dalam uraian yang agak sedikit ekstrem, Jurgen Habermas pernah menyatakan bahwa proses-proses sosial politik itu tidak melulu beranyamkan pada “praksis kerja” tetapi juga pada “praksis komunikasi”. Dalam hal ini, Ahok justru sedang memperlihatkan hegemoni-nya yang besar melalui dominasi-dominasi kebahasaan yang sengaja ia lontarkan ke hadapan publik.
Untuk sebagian orang, mungkin saja bahasa-bahasa yang dilontarkan mantan Bupati Belitung Timur ini terkesan “kasar”, “tidak beretika”, “aneh” atau “kurang pantas” apalagi berasal dari seorang pejabat publik yang semestinya menjadi panutan masyarakat. Tapi bagi sebagian lain, bisa saja bahasa-bahasa yang dibuat Ahok dipergunakan dalam rangka counter terhadap bahasa politik santun yang sering dipakai para pejabat publik dalam menjanjikan banyak hal, tetapi sering miskin realisasi. Bahasa memang tidak sekedar alat komunikasi yang berhenti sebagai sebuah gramatika, tetapi bagi penguasa seperti Ahok, bahasa bisa jadi sebuah kegiatan sosial, yang bisa dikonstruksi, direkontstruksi sesuai dengan kondisi setting sosial yang ada.
Ditengah ramainya adu kekuatan para bakal calon gubernur DKI Jakarta, Ahok merupakan sosok yang paling kontroversial ditengah-tengah kondisi pragmatisme masyarakat. Hal ini yang membuat popularitas Ahok meningkat drastis, bukan hanya karena keberhasilannya dalam membenahi beberapa hal di Jakarta, tetapi karena dirinya memang sosok yang kontroversial. Dalam bahasa sederhana, mungkin bisa dikatakan, Ahok itu dibenci sekaligus juga disukai oleh banyak orang. Hanya saja, saya tidak tahu persis, mana yang lebih banyak: para pembenci (haters) ataukah para pencinta (lovers) terhadap calon petahana gubernur DKI Jakarta ini.
Saya ingin menyatakan, bahwa dari lontaran-lontaran bahasa Ahok, baik yang ditujukan kepada lembaga Negara atau perseorangan, merupakan bentuk arogansi kekuasaan yang sengaja ingin ia tunjukkan ke publik. Dalam pengertian yang agak teoritis, Antonio Gramsci pernah merekam kondisi ini dengan menyebut istilah “hegemony” atau “power” yang berkaitan dengan bahasa. Jika “kekuatan” atau power dianggap sebagai daya paksa seseorang agar mengikuti atau mematuhi syarat-syarat tertentu, maka “hegemony” adalah perluasannya, dimana “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh “yang berkuasa” akan hadir sebagai bentuk kepatuhan terhadap “sang penguasa”. Bentuk kepatuhan bisa diimplementasikan baik itu melalui penggunaan intelektual, moral, dan politik yang kemudian mewujud dalam bentuk-bentuk kooptasi institusional dan manipulasi sistem atas bahasa dan tafsirannya.
Dari sini kita bisa melihat, ketika Ahok melontarkan kata “maling” kepada DPRD DKI Jakarta pada saat terungkapnya kasus korupsi UPS, ini berarti Ahok menunjukkan dominasi kekuasaannya yang dikooptasi melalui bahasa yang ia pergunakan. Ahok menunjukkan dominasi politiknya vis a vis parlemen. Seketika itu juga para kelompok pendukungnya dalam hegemoni Ahok memperluas konteks penafsiran bahasa “maling” dengan wujud manipulasi-manipulasi moral, intelektual atau politik yang bisa kita saksikan melalui media. Namun demikian, agak berbeda ketika Ahok mengomentari kasus korupsi soal reklamasi yang ditujukan kepada M Sanusi yang juga anggota DPRD DKI. Ketika M Sanusi ditangkap KPK, Ahok tidak lantas bilang “maling” tetapi dia menggunakan bahasa agak kurang transparan, hanya berisi sindiran. Ahok hanya mempersilahkan publik menilai sendiri bagaimana gaya hidup M Sanusi. Perubahan bahasa ini paling tidak menunjukkan bahwa ada hal-hal yang secara tidak langsung sengaja ditutupi Ahok, terutama dalam bahasa yang dibuat untuk kasus korupsi reklamasi. Bahasa-bahasa “politik” Ahok dalam kasus korupsi reklamasi sedikit mengendur dibanding bahasa-bahasa “politik” yang dilontarkan menanggapi kasus-kasus lainya, seperti kasus UPS atau kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Publik kemudian bisa melihat, ketika Selasa (13/4) Ahok dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi saksi dalam persoalan pembelian tanah RS Sumber Waras yang dibeli Pemda DKI. Sebelumnya kasus ini aman-aman saja karena hasil audit BPK konon katanya WTP (Wajar Tanpa Perkecualian), namun belakangan BPK berubah hasil auditnya dan menyatakan pembelian lahan RS Sumber Waras terindikasi korupsi karena merugikan keuangan dengan lebih dari 190 milyar. Ahok sebelum diperiksa KPK menyatakan bahwa audit yang dilakukan BPK sebelumnya “ngaco”. Dalam kasus ini, Ahok terlihat kembali menunjukkan hegemoni dan power-nya melalui lontaran kata “ngaco” yang ditujukan kepada lembaga Negara sekelas BPK. Maka secara tidak langsung kelompok-kelompok yang berada dalam “hegemoni” Ahok kemudian membuat tafsiran-tafsiran yang bernuansa intelektual atau moral dalam rangka memperluas kooptasi hegemoni “Sang Penguasa”.
Memang terdapat pergeseran-pergeseran bahasa yang dikemukakan Ahok dalam beragam setting sosial yang terjadi. Bagi saya, bahasa tidak seharusnya dianggap hanya sebuah bentuk gramatikal yang tidak memiliki implikasi apa-apa terhadap konteks sosial dan budaya. Bahasa seharusnya dipahami sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. Ahok mencoba memainkan peranan hegemoni-nya melalui penekanan terhadap bahasa-bahasa yang dia buat, sebagai wahana penyampaian kebijaksanaan, untuk memperoleh penghargaan atau dukungan, dan sekaligus membangun keyakinan publik. Hanya saja, Ahok mungkin lupa, bahwa membangun hegemoni harus mengukur setiap kekuatan sosial-politik yang ada dalam lingkungannya, tanpa itu hegemoni yang dibangun akan sia-sia.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H