Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Bulan Rajab dalam Tradisi Islam

8 April 2016   14:13 Diperbarui: 4 April 2017   16:20 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di antara 12 bulan Hijriyah dalam kalender Islam, terdapat bulan Rajab yang merupakan bulan yang berada diantara Jumadil Akhir dan Sya’ban. Dalam kalender Hijriyah, Rajab jika dihitung dari bulan pertama yaitu Muharram jatuh pada bulan ke 7 kedudukannya. Kata “rajab” sendiri berasal dari bahasa arab, “rajaba” atau “rajiba”. Untuk pengertian yang pertama, “rajaba” berarti mengandung pengertian “’adzoma” atau “menghormati atau pengormatan” hal ini berdasarkan sebuah riwayat hadits yang dikutip oleh Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab bahwa dulu masyarakat Arab Jahiliyah ketika memasuki bulan Rajab mereka tidak melakukan peperangan atau melakukan gencatan senjata.

Dinamakan sebagai "bulan kehormatan", Rajab diyakini oleh sebagian bangsa Arab Jahiliyyah sebagai bulan “sembelihan” karena biasanya mereka memaknai “rajabiyyah” sebagai “syahrul ‘athiroh” atau bulan dilaksanakannya penyembelihan. Kebiasaan ini biasanya dilakukan bangsa Arab dalam rangka menghormati nasab (kesukuan/keturunan) mereka. Maka setelah Nabi saw diutus kepada bangsa Arab, Nabi saw memperpanjang masa bulan-bulan yang diharamkan (untuk berperang) tidak hanya pada bulan Rajab, tetapi juga bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Karena bulan Rajab memiliki keistimewaan dalam sejarahnya, maka Allah pun memilih bulan Rajab sebagai bulan hadiah istimewa dimana Nabi saw diperjalankan melalui peristiwa luar biasa, yaitu Isra dan Mi’raj yang menurut beberapa riwayat masyhur, terjadi pada tanggal 27 di bulan Rajab (antara 620-621 M). 

Terdapat juga peristiwa di bulan ini, dimana sebagian umat muslim di wilayah Madinah ada yang sholat menghadap baitul maqdis (Masjid al-Aqsha, Palestina) dan ada yang menghadap Ka’bah (baitullah, Mekkah). Kejadian ini berlangsung pada waktu sholat Ashar, dimana kemudian setelah ada pemberitahuan mengenai kiblat sholat sudah beralih ke baitullah, maka serentak jama’ah sholat membalikkan badannya dan sholat menghadap ka’bah. Kejadian ini berlangsung pada bulan Rajab, 2 bulan sebelum terjadinya perang Badar. Kejadian ini diabadikan dengan memberi nama sebuah masjid yang berhubungan dengan peristiwa tersebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan 2 Qiblat) yang sampai saat ini berada di wilayah Madinah.

Karena keistimewaannya, bulan Rajab kemudian banyak dimaknai oleh umat Islam sebagai bulan anjuran untuk beribadah dan memperbanyak amalan, seperti dzikir, berpuasa atau bersedekah. Yang paling sering diperbincangkan adalah persoalan puasa yang dijadikan amalan istimewa di bulan ini. Terdapat beberapa riwayat yang jika dilihat dari sisi kandungan maknanya bahwa bulan Rajab adalah bulan yang dianjurkan untuk berpuasa, tetapi penentuan tanggalnya kapan tidak diketemukan riwayat yang shahih.

Dalam sebuah riwayat yang dikemukakan Imam Muslim bin Hajjaj (822-875 M) disebutkan bahwa ada seorang sahabat Nabi saw Utsman bin Hakim al-Anshori bertanya kepada Sahabat Sa’id bin Zubaer mengenai puasa yang dilakukan pada Bulan Rajab, maka Sa’id kemudian mengemukakan bahwa dia pernah diceritakan oleh Ibnu Abbas tentang Nabi saw yang berpuasa pada bulan itu. Nabi saw seakan-akan seperti berpuasa terus sepanjang tahun (termasuk bulan Rajab) dan dilain waktu Nabi saw juga seakan-akan tidak berpuasa. (Muslim: 1157)

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim ketika menjelaskan riwayat yang dikaitkan dengan kesaksian Sa’id bin Zubair ini secara tekstual mengacu kepada kebolehan atau tidak dilarangnya berpuasa pada bulan Rajab. Oleh karena itu, Imam Nawawi berkesimpulan dapat ditarik sebuah hukum bahwa Nabi saw tidak menetapkan bulan Rajab sebagai bulan yang dikhususkan untuk berpuasa dan juga tidak mengkhususkan untuk berpuasa di bulan Rajab. Hanya saja kemudian ditemukan riwayat hadits yang berasal dari Abu Dawud bahwa Nabi saw menganjurkan berpuasa pada bulan-bulan haram (asyhurul hurum) termasuk didalamnya adalah bulan Rajab. Meskipun demikian, Imam Nawawi tetap berpedoman pada riwayat yang menyatakan bahwa bulan yang utama untuk berpuasa selain Ramadhan adalah bulan Muharram.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal berpuasa di bulan Rajab. Ulama abad ke 9 H, Ibnu Ruslan berpendapat bahwa Nabi saw tidak pernah mengkhususkan puasa sunnah diluar Ramadhan, kecuali bulan Muharram. Hal ini sesuai dengan hadits yang menyatakan bahwa puasa paling utama selain Ramadhan adalah bulan Muharram. Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah yang dimaksud adalah bahwa Nabi saw berpuasa diluar Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban, karena Sya’ban merupakan bulan penjaga karena berdekatan dengan bulan Ramdhan, bulan dimana diwajibkan umat Islam untuk berpuasa.  

Dengan demikian, jika pendapat yang menyatakan bahwa puasa diluar Ramadhan yang paling utama di bulan Sya’ban menganalogikan kepada keutamaan menjaga puasa sebagaimana dilakukan Nabi saw, bahwa agar Ramadhan terpelihara, berpuasa sudah dimulai semenjak bulan Sya’ban. Adapun yang beranggapan bahwa puasa di luar Ramadhan yang paling utama adalah bulan Muharram para ulama menganalogikan kepada shalat qiyamullail merupakan kekhususan (keutamaan) selain sholat-sholat yang diwajibkan (maktubah).

Asumsi saya, berpuasa di luar Ramadhan (tathowwu’) memang seringkali dilakukan Nabi saw dan biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu dimana bulan-bulan itu tentu keistimewaannya hanya Nabi saw yang lebih tahu. Adapun kemudian terjadi perbedaan-perbedaan para ulama dalam hal puasa sunnah terjadi pada wilayah fiqh sehingga memberikan pemahaman kepada kita dan sekaligus memberikan pilihan kepada kita untuk mengambil pendapat dari salah satunya. Melaksanakan puasa di bulan-bulan selain Ramadhan adalah dibolehkan, selama tidak ada dalil yang jelas melarang untuk berpuasa, seperti larangan berpuasa pada awal bulan Syawwal atau hari-hari Tasyriq yang jatuh pada tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijjah.

Wallahu a’lam bisshawab    

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun