Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Partai Politik Vs Relawan, Deparpolisasi?

26 Maret 2016   14:50 Diperbarui: 14 Februari 2019   23:52 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah negara modern, seperti Indonesia, keberadaan partai politik (parpol) adalah keniscayaan. Parpol sejatinya merupakan “alat” untuk meraih kekuasaan secara legal, tanpa adanya parpol, negara bisa jatuh dalam kekuasaan despotis, karena kepentingan-kepentingan masyarakat gagal tersalurkan secara efektif kedalam sistem kekuasaan. Parpol dalam hal ini berfungsi menjadi jembatan antara penguasa (the rulers) dan rakyat (the ruled). Jika proses-proses meraih kekuasaan (politik) mekanismenya diserahkan begitu saja kepada masyarakat—tanpa melalui proses parpol—maka tidak mungkin ada check and balance, tidak akan ada kompetisi dan bahkan bisa terjadi “pertarungan politik” tanpa “aturan main” dalam sebuah negara.

Maka bisa dipastikan, keberadaan parpol dalam sebuah negara saat ini sangat dibutuhkan  sebagai bentuk pelembagaan (institusionalisasi) dari bermacam-macam ideologi, keyakinan, kepentingan, primordialisme atau kepentingan lainnya yang berkehendak mendapatkan atau paling tidak dapat mempengaruhi kekuasaan (politik). Melalui parpol kemudian tercipta proses rekruitmen politik, baik dalam rangka mencari anggota-anggota baru (partisan) atau melakukan seleksi tarhadap calon-calon pemimpin sehingga fungsi parpol dapat tetap terjaga dan tertata dalam ruang aktivitas kekuasan politik.

Namun demikian, dinamika perubahan masyarakat dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya terus mengalami perubahan, seiring dengan iklim demokratisasi dan globalisasi yang banyak mempengaruhi cara pandang dan pola pikir setiap individunya. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat tidak lagi dalam bentuk diarahkan (mobilized) tetapi berasal dari kesadaran (autonomous) masyarakat itu sendiri. Hal ini jelas karena tingkat “melek” politik masyarakat sudah jauh lebih baik pada saat ini.

Terkadang, aspirasi politik masyarakat yang autonomous tidak harus diartikulasikan dalam bentuk dukungan terhadap salah satu parpol (partisan) tetapi bisa saja mereka membuat semacam kelompok-kelompok kepentingan tertentu dalam rangka meraih atau mendapatkan kekuasaan. Kelompok-kelompok kepentingan seperti ini kemudian seringkali disebut sebagai “relawan” yang tidak memiliki keterikatan orientasi atau ideologi dengan parpol tertentu tetapi tetap menjalankan aktivitas-aktivitas politik.

Dalam beberapa hal, peranan parpol-parpol yang begitu dominan dalam domain politik apalagi ditambah dengan kondisi sistem politik parlementer yang memberikan ruang yang lebih luas kepada partai-partai di parlemen, semakin menambah sempit ruang gerak aktivitas politik kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. 

Semua transaksi-transaksi politik harus dilakukan atau paling tidak didukung melalui jalur-jalur formal seperti parpol atau parlemen. Padahal, terkadang kinerja parpol dalam hal kompetisi untuk menjaring calon-calon  pemimpin cenderung diwarnai politik-transaksional sehingga menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok aktivis politik diluar parpol.

Meningkatnya pragmatisme masyarakat dalam kehidupan sosial-politik secara tidak langsung  berpengaruh terhadap orientasi-orientasi politik mereka. Pragmatisme sedikit-banyak telah merubah pola masyarakat lebih berorientasi jangka pendek: persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat harus dicari pemecahannya dengan cepat tanpa harus bertele-tele berdiskusi, berdebat atau diselesaikan melalui mekanisme jalur-jalur formal seperti parpol atau parlemen. 

Sikap pragmatisme masyarakat terhadap politik kemudian seringkali memicu untuk mencari cara penyelesaian-penyelesaian sendiri—diluar parpol atau parlemen—dengan  membentuk kelompok-kelompok sosial, aktivitas-aktivitas  politik, kelompok-kelompok kepentingan atau relawan-relawan yang sengaja dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan dan orientasi politik antar individu dalam masyarakat atau kelompok itu sendiri.

Relawan-relawan yang muncul baru-baru ini paling tidak merupakan respon terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia saat ini. Sebut saja, misalnya “Teman Ahok”, “Sahabat Sandiaga”, “Suka Haji Lulung” dan belakangan muncul relawan “Sahabat Djarot” merupakan ekspresi sekelompok masyarakat yang terbangun melalui orientasi-orientasi politik yang sama tetapi tidak bisa tertampung dalam jalur-jalur formal seperti parpol. 

Mekanisme seleksi pemimpin yang ditempuh melalui jalur parpol yang seringkali diwarnai praktek politik transaksional telah menimbulkan kekecewaan dan sikap apatisme sekelompok masyarakat terhadap parpol. Langkah yang dilakukan kemudian adalah menjaring pemimpin-pemimpin politik melalui jalur non-formal politik (independen). Bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap jalur-jalur formal politik dengan membuat aktivitas-aktivitas politik diluar jalur parpol merupakan upaya “deparpolisasi” dengan berbagai bentuk perluasannya.

Upaya “deparpolisasi” oleh relawan-relawan politik yang terbentuk bisa jadi merupakan pengaruh politik (political efficacy) akibat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme politik dan citra parpol yang saat ini ada. Apalagi menjaring aspirasi politik melalui jalur relawan tidaklah sulit, ia tidak butuh legal-formal atau proses birokrasi yang berbelit-belit dalam pembentukannya. Bahkan jika dihadapkan dengan konstelasi politik saat ini, relawan hampir mirip-mirip dengan munculnya “Organisasi Tanpa Bentuk” seperti bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru. 

Kelompok relawan ini melakukan aktivitas-aktivitas politik—tanpa terikat parpol—sebagai respon atas lemahnya komunikasi antara parpol dengan masyarakat, kurang terbukanya ruang-ruang aspirasi politik masyarakat atau proses rekruitmen pemimpin politik yang hanya merupakan wilayah domain parpol. Kemunculan relawan-relawan politik, bahkan menjadi tren saat ini dan semakin diakui eksistensinya sebagai bagian dari partisipasi politik masyarakat.

Eksistensi para relawan politik mungkin sudah dapat kita baca sejak proses suksesi kepemimpinan Jokowi-JK. Bahkan, relawan secara massif telah menggeser keberadaan parpol dalam berbagai bentuk aktivitas politiknya. Parpol-parpol seakan-akan hanya “pemberi legitimasi” terhadap para relawan politik. Relawan bebas mengekspresikan segala macam aktivitas politiknya tanpa terhambat oleh jalur-jalur formal politik, seperti keterikatan regulasi yang diberikan kepada parpol.

Mereka berkampanye, berdiskusi, membangun opini, menjadi bintang tamu di media massa, melakukan penyadaran politik kepada masyarakat, mencari dana, mengambil simpati massa dapat dilakukan tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Tidak terdapatnya regulasi yang jelas mengenai apa dan bagaimana seharusnya para relawan ini melakukan kegiatan-kegiatan politik, maka model relawan kemudian sangat diminati oleh para kontestan politik.

Akibat tidak adanya aturan yang jelas mengenai bagaimana seharusnya aktivitas politik yang dilakukan para relawan ini, maka bisa saja kemudian aktivis-aktivis parpol juga memanfaatkan mereka sebagai “kendaraan” dalam proses perolehan kekuasaan (politik). Kemacetan mekanisme politik yang seringkali terjadi melalui jalur-jalur formal dalam parpol dapat dengan mudah terselesaikan melalui jalur relawan. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa anggota-anggota relawan yang terbentuk juga berasal dari kelompok partisan parpol yang tidak puas terhadap kinerja yang dilakukan parpol-nya sendiri.

Dalam era demokratisasi, segala bentuk aspirasi masyarakat, aktivitas politik, kebebasan berpendapat dan membentuk kelompok-kelompok kepentingan memang harus diberikan ruang oleh negara dan negara menjamin hak-hak masyarakat tersebut. Hanya saja, Negara juga berhak untuk mengatur, membina serta mengarahkan kebebasan berpolitik masyarakat dalam sebuah aturan yang jelas, sehingga kebebasan tetap berada pada koridor “tanggungjawab” terhadap rambu-rambu regulasi yang sudah ditetapkan negara.

Keberadaan para relawan saat ini sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat nampaknya belum diatur sepenuhnya oleh undang-undang. Maka wajar, jika kemudian beberapa anggota parlemen mengajukan pandangan untuk merevisi undang-undang politik yang ada saat ini.

Untuk tidak menegasikan relawan-relawan lain, relawan “Teman Ahok” yang melakukan aktivitas-aktivitas politik guna mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melalui jalur independen pada kontestasi Pilkada 2017 di Jakarta nanti, merupakan contoh kongkret dari bentuk-bentuk aktivitas politik yang “bebas” karena tidak terikat oleh regulasi formal seperti yang diberikan kepada parpol. Mereka berkampanye, melakukan edukasi politik, melakukan pencitraan, menjaring anggota-anggota baru atau bertemu dengan pihak-pihak yang “dekat” dengan kekuasaan merupakan bentuk “deparpolisasi” yang nyata, karena aktivitas tersebut seharusnya merupakan domain parpol dalam proses-proses atau upaya-upaya dalam memperoleh atau mempengaruhi kekuasaan (politik).

Dengan demikian, harus dibuat sebuah regulasi yang jelas mengenai bentuk, aktivitas dan “domain politik” para relawan ini, yang saat ini justru mulai menjamur dalam setiap kontestasi politik. Ketika terus dibiarkan secara “bebas” para relawan bisa saja menjadi  “elite” baru dalam masyarakat yang tercipta hasil dari “penggembosan” terhadap kinerja parpol yang kurang memuaskan saat ini. Ketika para relawan ini menjadi “elite” maka mereka akan memilik “bargaining position” terhadap kekuasaan atau negara, sehingga proses transaksionalisasi politik tak ubahnya seperti yang selama ini dijalankan dalam mekanisme parpol. Lalu pertanyaannya, bagaimana nasib parpol jika “domain politik” lebih banyak dimainkan oleh para relawan?

Wallahu a’lam bissahawab     

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun