Dalam sebuah negara modern, seperti Indonesia, keberadaan partai politik (parpol) adalah keniscayaan. Parpol sejatinya merupakan “alat” untuk meraih kekuasaan secara legal, tanpa adanya parpol, negara bisa jatuh dalam kekuasaan despotis, karena kepentingan-kepentingan masyarakat gagal tersalurkan secara efektif kedalam sistem kekuasaan. Parpol dalam hal ini berfungsi menjadi jembatan antara penguasa (the rulers) dan rakyat (the ruled). Jika proses-proses meraih kekuasaan (politik) mekanismenya diserahkan begitu saja kepada masyarakat—tanpa melalui proses parpol—maka tidak mungkin ada check and balance, tidak akan ada kompetisi dan bahkan bisa terjadi “pertarungan politik” tanpa “aturan main” dalam sebuah negara.
Maka bisa dipastikan, keberadaan parpol dalam sebuah negara saat ini sangat dibutuhkan sebagai bentuk pelembagaan (institusionalisasi) dari bermacam-macam ideologi, keyakinan, kepentingan, primordialisme atau kepentingan lainnya yang berkehendak mendapatkan atau paling tidak dapat mempengaruhi kekuasaan (politik). Melalui parpol kemudian tercipta proses rekruitmen politik, baik dalam rangka mencari anggota-anggota baru (partisan) atau melakukan seleksi tarhadap calon-calon pemimpin sehingga fungsi parpol dapat tetap terjaga dan tertata dalam ruang aktivitas kekuasan politik.
Namun demikian, dinamika perubahan masyarakat dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya terus mengalami perubahan, seiring dengan iklim demokratisasi dan globalisasi yang banyak mempengaruhi cara pandang dan pola pikir setiap individunya. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat tidak lagi dalam bentuk diarahkan (mobilized) tetapi berasal dari kesadaran (autonomous) masyarakat itu sendiri. Hal ini jelas karena tingkat “melek” politik masyarakat sudah jauh lebih baik pada saat ini.
Terkadang, aspirasi politik masyarakat yang autonomous tidak harus diartikulasikan dalam bentuk dukungan terhadap salah satu parpol (partisan) tetapi bisa saja mereka membuat semacam kelompok-kelompok kepentingan tertentu dalam rangka meraih atau mendapatkan kekuasaan. Kelompok-kelompok kepentingan seperti ini kemudian seringkali disebut sebagai “relawan” yang tidak memiliki keterikatan orientasi atau ideologi dengan parpol tertentu tetapi tetap menjalankan aktivitas-aktivitas politik.
Dalam beberapa hal, peranan parpol-parpol yang begitu dominan dalam domain politik apalagi ditambah dengan kondisi sistem politik parlementer yang memberikan ruang yang lebih luas kepada partai-partai di parlemen, semakin menambah sempit ruang gerak aktivitas politik kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Semua transaksi-transaksi politik harus dilakukan atau paling tidak didukung melalui jalur-jalur formal seperti parpol atau parlemen. Padahal, terkadang kinerja parpol dalam hal kompetisi untuk menjaring calon-calon pemimpin cenderung diwarnai politik-transaksional sehingga menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok aktivis politik diluar parpol.
Meningkatnya pragmatisme masyarakat dalam kehidupan sosial-politik secara tidak langsung berpengaruh terhadap orientasi-orientasi politik mereka. Pragmatisme sedikit-banyak telah merubah pola masyarakat lebih berorientasi jangka pendek: persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat harus dicari pemecahannya dengan cepat tanpa harus bertele-tele berdiskusi, berdebat atau diselesaikan melalui mekanisme jalur-jalur formal seperti parpol atau parlemen.
Sikap pragmatisme masyarakat terhadap politik kemudian seringkali memicu untuk mencari cara penyelesaian-penyelesaian sendiri—diluar parpol atau parlemen—dengan membentuk kelompok-kelompok sosial, aktivitas-aktivitas politik, kelompok-kelompok kepentingan atau relawan-relawan yang sengaja dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan dan orientasi politik antar individu dalam masyarakat atau kelompok itu sendiri.
Relawan-relawan yang muncul baru-baru ini paling tidak merupakan respon terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia saat ini. Sebut saja, misalnya “Teman Ahok”, “Sahabat Sandiaga”, “Suka Haji Lulung” dan belakangan muncul relawan “Sahabat Djarot” merupakan ekspresi sekelompok masyarakat yang terbangun melalui orientasi-orientasi politik yang sama tetapi tidak bisa tertampung dalam jalur-jalur formal seperti parpol.
Mekanisme seleksi pemimpin yang ditempuh melalui jalur parpol yang seringkali diwarnai praktek politik transaksional telah menimbulkan kekecewaan dan sikap apatisme sekelompok masyarakat terhadap parpol. Langkah yang dilakukan kemudian adalah menjaring pemimpin-pemimpin politik melalui jalur non-formal politik (independen). Bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap jalur-jalur formal politik dengan membuat aktivitas-aktivitas politik diluar jalur parpol merupakan upaya “deparpolisasi” dengan berbagai bentuk perluasannya.
Upaya “deparpolisasi” oleh relawan-relawan politik yang terbentuk bisa jadi merupakan pengaruh politik (political efficacy) akibat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme politik dan citra parpol yang saat ini ada. Apalagi menjaring aspirasi politik melalui jalur relawan tidaklah sulit, ia tidak butuh legal-formal atau proses birokrasi yang berbelit-belit dalam pembentukannya. Bahkan jika dihadapkan dengan konstelasi politik saat ini, relawan hampir mirip-mirip dengan munculnya “Organisasi Tanpa Bentuk” seperti bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru.