Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Peluang Ahok di Pilkada 2017

16 Maret 2016   12:58 Diperbarui: 16 Maret 2016   17:14 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan asumsi mengenai budaya politik Indonesia yang didasari oleh sikap sopan santun, kesediaan menggunakan cara-cara yang tidak menyakitkan perasaan dalam berpendapat, bersedia untuk berkorban demi kepentingan umum yang lebih besar dan hormat pada para pemangku kekuasaan ternyata telah banyak diselewengkan dan atas nama “budaya politik” dijadikan alat kepentingan sesaat hanya untuk menutupi sebagian besar prilaku korup para elite-nya.

Ahok nampaknya jeli melihat karakteristik masyarakat yang dihadapinya dan kemudian mencoba menawarkan sebuah karakteristik baru yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada saat ini. Dengan kata lain, ada keinginan masyarakat menciptakan sebuah karakter yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan nampaknya Ahok merspon hal itu. 

Maka, ketika dua belah pihak berbagi karakteristik yang sama (similiarity) maka akan semakin meningkat pula rasa saling tertarik (attraction) satu sama lain. Sehingga, ketertarikan satu sama lain dalam sebuah masyarakat, memunculkan grup-grup atau kelompok baru yang saling mengikatkan dirinya atas dasar kesamaan nilai dan tujuan.

Masyarakat sudah bosan dengan berbagai manipulasi, spekulasi atau jargon-jargon politik yang seringkali hanya sekedar lips service dan tidak memiliki kepastian dalam pemecahan masalah. Maka, upaya membangun “kesamaan karakteristik” ini kemudian dijadikan Ahok sebagai instrumen untuk membangun dukungan politiknya, terutama dalam rangka menjelang gelaran suksesi politik di Jakarta. 

Kelompok masyarakat bisa jadi melembaga karena dasar kesamaan karakteristik dan kesamaan dalam pemecahan masalah (policy problem solving). Fenomena kelompok yang menamakan dirinya “Teman Ahok” adalah contoh kongkret hasil ikatan kesamaan karakteristik ini.

Ahok saat ini sudah terlanjur menjadi “ikon” tersendiri bagi Jakarta, terlepas dari mereka yang mendukung maupun menolak karakterisitik-nya selama ia memimpin Jakarta. Perlahan tapi pasti, Ahok sudah memberikan image kepada masyarakat, baik itu hasil publikasi oleh media massa maupun yang dibangun oleh kelompok dan para pendukungnya. Terkadang, memang sebuah image politik yang dibangun tidak selalu mencerminkan realitas objektif, namun diakui ataupun tidak, kinerja Ahok dalam merealisasikan program-program kerjanya cukup membuat image politiknya “naik daun”.

Pembangunan image politik yang dilakukan Ahok bukanlah tanpa sadar, tetapi ini merupakan rangkaian panjang dalam rentan waktu yang juga cukup lama, paling tidak sejak Ahok menjadi wakil gubernur semasa kepemimpinan Joko Widodo. Ahok sadar betul bahwa dirinya sedang berupaya membangun image politik ditengah-tengah masyarakat melalui nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran, paling tidak oleh dirinya sendiri.

Membaca peluang Ahok untuk ajang suksesi politik di Jakarta, memang agak rumit jika ia ikut kontestasi melalui jalur independen. Apalagi hanya mengandalkan suara dari massa mengambang yang juga menjadi rebutan partai-partai politik. 

Ahok dan para pendukungnya harus berjibaku mengumpulkan suara dukungan masyarakat sebagai prasyarat kontestasi politik di Jakarta. Paling tidak, Ahok harus bisa mengumpulkan 500 ribu lebih KTP warga Jakarta sebagai bentuk dukungan kepadanya agar dapat lolos menjadi kontestan dari jalur independen.

Peluang terpilihnya Ahok pada kontestasi politik di Jakarta jika hanya mengandalkan “kesamaan” karakteristik masyarakat Jakarta yang cenderung pragmatis dan kritis secara hitung-hitungan politik masih sangat sulit terwujud. Ahok harus rela melobi partai-partai politik yang satu gagasan, satu karakteristik untuk mau mendukungnya di Pilkada Jakarta nanti. 

Keberadaan partai politik meskipun bukan penentu utama dalam proses kontestasi tetapi harus dijadikan pertimbangan karena partai politik merupakan mesin pendulang suara yang masih efektif. Sikap pragmatisme masyarakat memang bisa saja tidak terikat secara ideologis kepada partai politik, tetapi bawaan-bawaan individual seperti aspek afektif atau kognitif masyarakat bisa saja berubah menjadi dukungan pada kontestan lain saat kontestasi berlangsung.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun