Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Predatory Pricing, Senjata Mematikan di Dunia e-Marketplace

30 Januari 2025   10:04 Diperbarui: 30 Januari 2025   10:04 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi predatory pricing di e-marketplace. (Sumber: Freepik.com)

Di tengah persaingan e-marketplace yang semakin ketat, strategi bisnis yang agresif menjadi hal yang tak terhindarkan. Salah satu praktik yang banyak dilakukan oleh pemain dominan adalah predatory pricing, yakni strategi penetapan harga yang sangat rendah untuk menghancurkan pesaing. Strategi ini sering kali tidak kasat mata dan sulit dibuktikan secara hukum, meskipun dampaknya sangat nyata dalam mengubah lanskap bisnis digital. Dengan perkembangan e-commerce yang terus meningkat di Indonesia, yang pada 2023 mencatatkan transaksi senilai Rp689 triliun menurut data Bank Indonesia, isu predatory pricing menjadi semakin relevan untuk dibahas.

Pada prinsipnya, predatory pricing mengandalkan kekuatan modal besar untuk mempertahankan harga di bawah biaya produksi dalam jangka waktu yang cukup lama. Setelah pesaing tersingkir dari pasar, harga kemudian dinaikkan kembali untuk mengembalikan margin keuntungan yang telah dikorbankan sebelumnya. Hal ini sering kali dibungkus dalam bentuk promosi, diskon besar-besaran (flashsale), atau program cashback, yang di permukaan terlihat sebagai keuntungan bagi konsumen tetapi sebenarnya menjadi ancaman bagi keberlangsungan usaha kecil dan menengah.

Dalam konteks e-marketplace, praktik ini semakin sulit dideteksi karena pelaku usaha dominan memiliki data besar (big data) yang memungkinkan mereka untuk mengoptimalkan strategi penetapan harga. Algoritma pricing yang kompleks memungkinkan mereka untuk melakukan penyesuaian harga secara real-time, menciptakan ilusi persaingan yang sehat padahal secara sistematis telah mengikis daya saing pelaku usaha kecil. Data menunjukkan bahwa di Indonesia, lebih dari 70% transaksi e-commerce dikuasai oleh segelintir pemain besar, menciptakan kondisi pasar yang rentan terhadap eksploitasi harga.

Laporan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengindikasikan bahwa praktik predatory pricing di Indonesia masih sulit dijangkau oleh regulasi yang ada. Salah satu contohnya adalah kasus diskon agresif yang dilakukan oleh beberapa platform e-commerce terhadap produk tertentu, yang membuat pelaku usaha kecil kehilangan pangsa pasar secara drastis. KPPU sendiri mengakui bahwa membuktikan adanya niat predatory pricing bukanlah perkara mudah, karena perusahaan bisa berargumen bahwa harga murah yang diberikan hanyalah bagian dari strategi pemasaran yang sah.

Di luar negeri, kasus serupa terjadi pada Amazon, yang pada 2010-an kerap dituduh melakukan predatory pricing untuk menyingkirkan pesaing. Amazon diketahui memberikan diskon besar-besaran pada buku dan elektronik tertentu, bahkan menjualnya di bawah harga modal, untuk memastikan bahwa pesaing independen tidak mampu bertahan. Setelah pesaing tersingkir, Amazon kemudian menaikkan harga secara bertahap. Praktik serupa juga pernah dilakukan oleh Uber ketika masuk ke pasar baru dengan memberikan tarif murah yang disubsidi oleh modal ventura hingga pesaing lokal tidak mampu bertahan.

Salah satu bentuk predatory pricing yang paling sulit dideteksi adalah subsidi silang. Marketplace besar dengan sumber daya finansial kuat bisa menggunakan keuntungan dari lini bisnis lain untuk menutup kerugian akibat penjualan produk di bawah harga pasar. Misalnya, e-commerce yang juga memiliki layanan fintech bisa mensubsidi harga produk dengan keuntungan dari transaksi digital yang mereka kelola. Strategi ini membuat persaingan menjadi semakin tidak adil karena pesaing yang hanya mengandalkan satu lini bisnis tidak memiliki fleksibilitas yang sama.

Konsumen memang menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam jangka pendek. Harga murah dan berbagai program diskon memberikan mereka daya beli yang lebih tinggi. Namun, dalam jangka panjang, ketika pesaing telah lenyap dan harga mulai dikendalikan oleh segelintir pemain, konsumen tidak lagi memiliki pilihan dan justru menjadi korban dari monopoli harga yang terbentuk. Hal ini pernah terjadi di India, di mana setelah pasar dikuasai oleh dua e-commerce raksasa, harga barang-barang elektronik naik 15-20% dibandingkan masa-masa promosi sebelumnya.

Indonesia belum memiliki regulasi yang cukup kuat untuk menangani kasus-kasus semacam ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memang memberikan landasan hukum, tetapi penerapannya dalam dunia digital masih memiliki banyak tantangan. KPPU harus berhadapan dengan bukti yang sulit dikumpulkan, serta strategi perusahaan yang terus berkembang untuk menghindari deteksi. Penegakan hukum di sektor digital membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, termasuk pemanfaatan big data untuk menganalisis pola harga yang mencurigakan.

Langkah pencegahan juga perlu dilakukan di tingkat regulasi. Pemerintah dapat mewajibkan transparansi harga dan laporan keuangan yang lebih ketat bagi perusahaan e-marketplace, sehingga bisa diketahui apakah ada subsidi silang yang mengarah pada praktik predatory pricing. Selain itu, perlu ada pembatasan dalam penggunaan algoritma harga yang dapat menciptakan distorsi persaingan. Sebuah penelitian di Uni Eropa menunjukkan bahwa penggunaan algoritma pricing yang agresif dapat meningkatkan risiko monopoli digital hingga 40% lebih tinggi dibandingkan metode konvensional.

Pelaku usaha kecil dan menengah juga perlu lebih sadar akan risiko yang ditimbulkan oleh predatory pricing. Salah satu langkah yang bisa mereka lakukan adalah memperkuat daya saing melalui inovasi produk, peningkatan layanan pelanggan, dan membangun jaringan pemasaran yang lebih kuat di luar platform marketplace. Ketergantungan pada marketplace besar harus dikurangi agar mereka tidak menjadi korban dari permainan harga yang tidak sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun