Di kaki Gunung Malabar, desa kecil bernama Sukamanah hidup dalam keheningan yang penuh kedamaian. Di sana, Damar, seorang pemuda desa yang gemar mendaki, sering bertemu dengan Naya, gadis cantik berdarah Sunda yang aktif sebagai sukarelawan di komunitas pelestarian hutan. Mereka sering menghabiskan waktu berbincang di tepi hutan, berbagi impian untuk menjaga alam. Cinta tumbuh di antara mereka, sederhana namun tulus.
Suatu hari, Naya mengalami kecelakaan saat membantu evakuasi warga terdampak longsor di sebuah desa terpencil. Ia terperosok ke dalam lubang berisi bara sisa pembakaran sampah liar di hutan. Sebagian tubuhnya terbakar parah, terutama wajah dan tangannya.
Naya dirawat di rumah sakit di Bandung. Ia merasa hidupnya hancur. Wajahnya yang dulu berseri-seri kini penuh bekas luka, membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Ia bahkan menolak bertemu siapa pun, termasuk Damar.
Namun, Damar tidak pernah menyerah. Setiap minggu, ia datang ke rumah sakit, membawa makanan kesukaan Naya---nasi liwet, ikan asin, dan lalapan segar dari kebun ibunya. Meski Naya menolak menemuinya, Damar tak pernah berhenti mengirim pesan lewat perawat:
"Naya, kau tetap gadis yang kucintai. Luka ini bukan akhir, tapi awal untuk kita berjuang bersama. Izinkan aku mendampingimu."
Setelah berbulan-bulan, Naya akhirnya memberanikan diri menemuinya. Ia mengenakan selendang untuk menutupi wajahnya. Namun, Damar dengan lembut meminta agar ia melepaskannya.
"Kamu tetap Naya yang kucintai," katanya. "Aku mencintai hatimu, bukan hanya apa yang terlihat di luar."
Sejak itu, Damar mendukung Naya dengan sepenuh hati. Ia mengajak Naya kembali ke Sukamanah, membantu Naya perlahan menerima dirinya. Di suatu sore, Damar membawa keluarganya ke rumah Naya untuk "mapag"---tradisi Sunda meminta restu kepada orang tua untuk menikahi Naya.
Di hadapan keluarga Naya, Damar menyampaikan niatnya.
"Saya datang bukan hanya untuk melamar Naya, tapi untuk berjanji, akan menjaga dan mendukungnya selamanya. Apa pun yang telah terjadi, Naya adalah pilihan hati saya."