Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Seragam: Diskursus Ketimpangan dalam Pendidikan Modern

18 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 18 Januari 2025   15:06 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kurikulum seragam. (Sumber: ifunny.co)

Kartun yang menampilkan perlombaan antarhewan laut dengan karakteristik unik masing-masing menyiratkan filosofi yang mendalam tentang ketidakadilan dalam perlakuan seragam terhadap individu yang berbeda. Dalam dunia pendidikan, filosofi ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan kurikulum standar yang diterapkan kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan keunikan dan perbedaan mereka. Dalam perspektif Critical Discourse Analysis (CDA), kartun ini dapat dianalisis sebagai representasi diskursif dari relasi kekuasaan, dominasi, dan marginalisasi yang terjadi dalam sistem pendidikan modern.

Diskursus Keseragaman: Kekuasaan dalam Kurikulum

Dalam konteks CDA, kurikulum dapat dilihat sebagai artefak diskursif yang mencerminkan ideologi tertentu. Sistem pendidikan yang menerapkan kurikulum seragam sering kali didasarkan pada diskursus meritokrasi, yaitu keyakinan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan standar yang telah ditentukan. Namun, seperti yang digambarkan dalam kartun, standar ini tidak selalu adil bagi semua individu. Cumi-cumi yang melesat ke atas, kepiting yang bergerak ke samping, dan udang yang jalan mundur, belut jalan ke dalam, bahkan ikan buntal terkejut dan mengembung padahal dia  yang memegang senjata api, menunjukkan bagaimana standar tunggal tidak dapat mengakomodasi keragaman karakteristik alami.

Kurikulum seragam sering kali memperkuat dominasi kelompok tertentu yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan standar tersebut. Dalam terminologi CDA, ini mencerminkan hegemoni diskursif, di mana satu pandangan dunia (dalam hal ini, pandangan yang mengutamakan keseragaman) mendominasi dan memarginalkan alternatif lain. Dalam sistem pendidikan, siswa yang tidak sesuai dengan "lintasan" kurikulum cenderung dianggap gagal atau kurang kompeten, meskipun kegagalan ini lebih mencerminkan ketidakadilan sistem daripada ketidakmampuan individu.

Marginalisasi dan Representasi Diskursif Siswa

Perspektif CDA juga menyoroti bagaimana siswa yang berbeda dari norma sering kali direpresentasikan secara negatif dalam wacana pendidikan. Dalam analogi kartun, belut yang masuk ke dalam tanah atau kepiting yang bergerak ke samping dapat dianggap sebagai siswa yang "tidak sesuai" dengan standar pendidikan. Representasi ini sering kali menciptakan diskursus defisit, di mana siswa-siswa ini dipandang sebagai masalah yang harus "diperbaiki," bukan sebagai individu yang memiliki keunikan yang berharga.

Diskursus defisit ini terwujud dalam berbagai bentuk, seperti label "siswa lamban," "berisiko gagal," atau "tidak termotivasi." Dalam perspektif CDA, label-label ini tidak hanya mencerminkan penilaian, tetapi juga menciptakan realitas sosial yang membatasi peluang siswa untuk berkembang. Label tersebut memperkuat hierarki sosial dalam pendidikan, di mana siswa yang sesuai dengan standar dianggap lebih unggul dibandingkan mereka yang tidak.

Intertekstualitas dan Konteks Sosial

Analisis CDA juga menyoroti pentingnya intertekstualitas, yaitu hubungan antara teks-teks yang berbeda dalam membentuk makna. Dalam konteks pendidikan, kurikulum seragam tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Filosofi meritokrasi yang mendasari kurikulum sering kali berkaitan dengan narasi globalisasi, efisiensi ekonomi, dan kompetisi global. Kurikulum yang seragam dianggap sebagai cara untuk menciptakan tenaga kerja yang kompetitif, tetapi dalam prosesnya, kebutuhan individu sering diabaikan.

Intertekstualitas ini juga terlihat dalam bagaimana standar kurikulum sering kali diimpor dari sistem pendidikan negara lain yang dianggap lebih maju. Namun, penerapan standar ini tanpa mempertimbangkan konteks lokal sering kali memperdalam ketimpangan. Dalam analogi kartun, ini seperti memaksa udang atau kepiting untuk berlomba di lintasan yang dirancang untuk cumi-cumi.

Dekonstruksi Diskursus Kurikulum

Dalam perspektif CDA, salah satu langkah penting adalah mendekonstruksi diskursus dominan untuk mengungkap ideologi yang mendasarinya. Kurikulum seragam, misalnya, perlu dianalisis sebagai konstruksi sosial yang mencerminkan kepentingan kelompok tertentu. Dekonstruksi ini dapat membantu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tersembunyi, seperti anggapan bahwa semua siswa memiliki potensi yang sama untuk beradaptasi dengan standar yang sama.

Dekonstruksi juga dapat mengungkapkan bahwa ketidakadilan dalam pendidikan tidak hanya disebabkan oleh kurikulum itu sendiri, tetapi juga oleh sistem evaluasi yang menyertainya. Dalam banyak kasus, siswa dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk memenuhi standar kurikulum, bukan berdasarkan potensi atau keunikan mereka. Evaluasi ini sering kali memperkuat ketimpangan, seperti yang terlihat dalam kartun di mana hanya cumi-cumi yang dianggap "berhasil" karena mampu melesat cepat.

Pendidikan yang Adil: Menyusun Diskursus Alternatif

Sebagai langkah menuju keadilan dalam pendidikan, penting untuk menyusun diskursus alternatif yang menghargai keragaman individu. Dalam konteks CDA, ini berarti menciptakan wacana yang tidak hanya mengakui, tetapi juga merayakan keunikan siswa. Misalnya, kurikulum dapat dirancang untuk lebih fleksibel, memungkinkan siswa untuk memilih jalur yang sesuai dengan minat dan potensi mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip empowerment dalam CDA, di mana individu diberdayakan untuk mengambil kendali atas proses pembelajaran mereka sendiri.

Selain itu, evaluasi juga perlu dirancang untuk mengukur keberhasilan berdasarkan perkembangan individu, bukan berdasarkan perbandingan dengan standar yang seragam. Dalam analogi kartun, ini berarti menghargai belut yang masuk ke dalam tanah sebagai bentuk pertahanan alaminya, atau kepiting yang bergerak ke samping sebagai strategi bertahan hidupnya.

***

Kartun sederhana tentang perlombaan hewan laut menawarkan pelajaran yang mendalam tentang ketimpangan dalam sistem pendidikan modern. Dalam perspektif Critical Discourse Analysis, kurikulum seragam mencerminkan diskursus dominasi yang memperkuat ketimpangan dan marginalisasi. Untuk menciptakan pendidikan yang adil, penting untuk mendekonstruksi diskursus ini dan menyusun wacana alternatif yang menghargai keragaman individu. Seperti halnya hewan-hewan dalam kartun, setiap siswa memiliki cara unik untuk mencapai potensi terbaik mereka, dan tugas pendidikan adalah membantu mereka menemukan jalan tersebut, bukan memaksakan satu jalur untuk semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun