Kartun yang menampilkan perlombaan antarhewan laut dengan karakteristik unik masing-masing menyiratkan filosofi yang mendalam tentang ketidakadilan dalam perlakuan seragam terhadap individu yang berbeda. Dalam dunia pendidikan, filosofi ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan kurikulum standar yang diterapkan kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan keunikan dan perbedaan mereka. Dalam perspektif Critical Discourse Analysis (CDA), kartun ini dapat dianalisis sebagai representasi diskursif dari relasi kekuasaan, dominasi, dan marginalisasi yang terjadi dalam sistem pendidikan modern.
Diskursus Keseragaman: Kekuasaan dalam Kurikulum
Dalam konteks CDA, kurikulum dapat dilihat sebagai artefak diskursif yang mencerminkan ideologi tertentu. Sistem pendidikan yang menerapkan kurikulum seragam sering kali didasarkan pada diskursus meritokrasi, yaitu keyakinan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan standar yang telah ditentukan. Namun, seperti yang digambarkan dalam kartun, standar ini tidak selalu adil bagi semua individu. Cumi-cumi yang melesat ke atas, kepiting yang bergerak ke samping, dan udang yang jalan mundur, belut jalan ke dalam, bahkan ikan buntal terkejut dan mengembung padahal dia  yang memegang senjata api, menunjukkan bagaimana standar tunggal tidak dapat mengakomodasi keragaman karakteristik alami.
Kurikulum seragam sering kali memperkuat dominasi kelompok tertentu yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan standar tersebut. Dalam terminologi CDA, ini mencerminkan hegemoni diskursif, di mana satu pandangan dunia (dalam hal ini, pandangan yang mengutamakan keseragaman) mendominasi dan memarginalkan alternatif lain. Dalam sistem pendidikan, siswa yang tidak sesuai dengan "lintasan" kurikulum cenderung dianggap gagal atau kurang kompeten, meskipun kegagalan ini lebih mencerminkan ketidakadilan sistem daripada ketidakmampuan individu.
Marginalisasi dan Representasi Diskursif Siswa
Perspektif CDA juga menyoroti bagaimana siswa yang berbeda dari norma sering kali direpresentasikan secara negatif dalam wacana pendidikan. Dalam analogi kartun, belut yang masuk ke dalam tanah atau kepiting yang bergerak ke samping dapat dianggap sebagai siswa yang "tidak sesuai" dengan standar pendidikan. Representasi ini sering kali menciptakan diskursus defisit, di mana siswa-siswa ini dipandang sebagai masalah yang harus "diperbaiki," bukan sebagai individu yang memiliki keunikan yang berharga.
Diskursus defisit ini terwujud dalam berbagai bentuk, seperti label "siswa lamban," "berisiko gagal," atau "tidak termotivasi." Dalam perspektif CDA, label-label ini tidak hanya mencerminkan penilaian, tetapi juga menciptakan realitas sosial yang membatasi peluang siswa untuk berkembang. Label tersebut memperkuat hierarki sosial dalam pendidikan, di mana siswa yang sesuai dengan standar dianggap lebih unggul dibandingkan mereka yang tidak.
Intertekstualitas dan Konteks Sosial
Analisis CDA juga menyoroti pentingnya intertekstualitas, yaitu hubungan antara teks-teks yang berbeda dalam membentuk makna. Dalam konteks pendidikan, kurikulum seragam tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Filosofi meritokrasi yang mendasari kurikulum sering kali berkaitan dengan narasi globalisasi, efisiensi ekonomi, dan kompetisi global. Kurikulum yang seragam dianggap sebagai cara untuk menciptakan tenaga kerja yang kompetitif, tetapi dalam prosesnya, kebutuhan individu sering diabaikan.
Intertekstualitas ini juga terlihat dalam bagaimana standar kurikulum sering kali diimpor dari sistem pendidikan negara lain yang dianggap lebih maju. Namun, penerapan standar ini tanpa mempertimbangkan konteks lokal sering kali memperdalam ketimpangan. Dalam analogi kartun, ini seperti memaksa udang atau kepiting untuk berlomba di lintasan yang dirancang untuk cumi-cumi.
Dekonstruksi Diskursus Kurikulum
Dalam perspektif CDA, salah satu langkah penting adalah mendekonstruksi diskursus dominan untuk mengungkap ideologi yang mendasarinya. Kurikulum seragam, misalnya, perlu dianalisis sebagai konstruksi sosial yang mencerminkan kepentingan kelompok tertentu. Dekonstruksi ini dapat membantu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tersembunyi, seperti anggapan bahwa semua siswa memiliki potensi yang sama untuk beradaptasi dengan standar yang sama.
Dekonstruksi juga dapat mengungkapkan bahwa ketidakadilan dalam pendidikan tidak hanya disebabkan oleh kurikulum itu sendiri, tetapi juga oleh sistem evaluasi yang menyertainya. Dalam banyak kasus, siswa dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk memenuhi standar kurikulum, bukan berdasarkan potensi atau keunikan mereka. Evaluasi ini sering kali memperkuat ketimpangan, seperti yang terlihat dalam kartun di mana hanya cumi-cumi yang dianggap "berhasil" karena mampu melesat cepat.
Pendidikan yang Adil: Menyusun Diskursus Alternatif
Sebagai langkah menuju keadilan dalam pendidikan, penting untuk menyusun diskursus alternatif yang menghargai keragaman individu. Dalam konteks CDA, ini berarti menciptakan wacana yang tidak hanya mengakui, tetapi juga merayakan keunikan siswa. Misalnya, kurikulum dapat dirancang untuk lebih fleksibel, memungkinkan siswa untuk memilih jalur yang sesuai dengan minat dan potensi mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip empowerment dalam CDA, di mana individu diberdayakan untuk mengambil kendali atas proses pembelajaran mereka sendiri.