Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengkiritisi Artikel "Boikot Pemberitaan: Solusi atau Bumerang untuk Media Massa?" dari Perspektif Critical Discourse Analysis

18 Januari 2025   10:29 Diperbarui: 18 Januari 2025   11:25 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengamat sepak bola Tommy Welly alias Bung Towel di Polda Metro Jaya, Jumat (17/1/2025).(KOMPAS.com/BAHARUDIN AL FARISI)

Artikel berjudul "Boikot Pemberitaan: Solusi atau Bumerang untuk Media Massa?" menyajikan ulasan yang menarik tentang fenomena boikot pemberitaan terhadap tokoh publik, dalam hal ini Bung Towel. Namun, dari perspektif Critical Discourse Analysis (CDA), artikel tersebut masih kurang mendalam dalam mengungkap relasi kekuasaan, ideologi, dan praktik wacana yang melandasi fenomena tersebut. Sebagai pendekatan interdisipliner, CDA berusaha menganalisis bagaimana wacana mencerminkan dan mempertahankan struktur sosial serta relasi kekuasaan melalui bahasa. Artikel ini akan mengkritisi beberapa elemen utama dari artikel tersebut menggunakan kerangka CDA.

Analisis Framing: Representasi Bung Towel dalam Wacana Media

Dari sudut pandang CDA, salah satu aspek yang perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah framing atau cara Bung Towel direpresentasikan dalam pemberitaan media. Artikel tersebut mencatat bahwa Bung Towel dikenal dengan kritiknya yang "tajam bak sembilu," tetapi tidak menganalisis bagaimana representasi ini berkontribusi pada pembentukan wacana tertentu.

Dalam terminologi CDA, representasi ini dapat dikaji melalui strategi nominalisasi dan predikasi, yaitu bagaimana entitas (Bung Towel) diberi label tertentu dan bagaimana karakteristik dilekatkan padanya. Istilah "kritik pedas" dan "memantik perselisihan" menciptakan wacana yang menonjolkan sisi kontroversial Bung Towel, sementara substansi kritiknya diabaikan. Hal ini menunjukkan praktik othering, di mana Bung Towel diposisikan sebagai "liyan" yang mengganggu harmoni wacana mainstream tentang Timnas Indonesia. Artikel ini gagal menggali bagaimana framing semacam itu mencerminkan atau memperkuat ideologi tertentu dalam media.

Ideologi Media dan Kepentingan Ekonomi

Artikel menyebutkan bahwa keputusan media untuk memboikot Bung Towel didasarkan pada niat menjaga "iklim kondusif bagi perkembangan Timnas." Dari perspektif CDA, pernyataan ini dapat dikaitkan dengan ideologi media yang mendukung stabilitas dan harmoni, sering kali dengan mengorbankan kritik atau suara oposisi. Namun, artikel tidak mendalami bagaimana keputusan ini mencerminkan relasi kekuasaan antara media, institusi sepak bola, dan publik.

Dalam wacana ini, media berperan sebagai "gatekeeper," yang menentukan informasi apa yang layak disebarluaskan. Fenomena ini sejalan dengan konsep hegemoni Gramscian, di mana media mendukung kepentingan kelompok dominan (misalnya, federasi sepak bola atau otoritas olahraga) dengan mengontrol narasi publik. Artikel seharusnya mengkritisi bagaimana keputusan untuk memboikot tidak hanya melindungi kepentingan ekonomi media, tetapi juga memperkuat kekuasaan institusional yang berpotensi menekan suara kritis.

The Right to Know: Relasi Kekuasaan dan Hak Publik

Salah satu kritik utama dalam artikel adalah bahwa boikot dapat melanggar the right to know, yaitu hak publik untuk mengakses informasi. Dari perspektif CDA, ini adalah aspek penting yang perlu didekati melalui konsep exclusion dan silencing, yaitu bagaimana wacana tertentu sengaja dihapuskan atau diabaikan dalam ruang publik.

Keputusan media untuk memboikot Bung Towel mencerminkan praktik discursive exclusion, di mana suara kritis dipinggirkan demi mempertahankan narasi dominan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya kehilangan akses terhadap pandangan alternatif, tetapi juga dimanipulasi untuk menerima wacana tunggal yang diatur oleh media. Artikel gagal mengkritisi dampak jangka panjang dari praktik ini terhadap kebebasan pers dan keterbukaan informasi di Indonesia.

Efek Streisand: Ironi dalam Dinamika Informasi Digital

Artikel menyebutkan efek Streisand sebagai konsekuensi dari boikot pemberitaan, tetapi pembahasannya kurang mendalam dalam menggambarkan dinamika kekuasaan dalam era digital. Dari perspektif CDA, fenomena ini mencerminkan pergeseran kekuasaan dari media tradisional ke platform digital, di mana informasi dapat menyebar secara organik tanpa kontrol ketat dari institusi media.

Namun, efek ini juga menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya memegang kendali atas wacana di ruang digital. Platform digital seperti media sosial memiliki algoritma yang sering kali mendukung konten kontroversial, menciptakan praktik algorithmic amplification. Artikel ini bisa memperkaya analisisnya dengan menggali bagaimana dinamika baru ini memengaruhi relasi kekuasaan antara media, tokoh publik, dan audiens.

Sensasionalisme vs. Informasi: Etika Jurnalistik dalam Wacana Publik

Artikel mencatat dilema antara sensasionalisme dan jurnalisme informatif, tetapi tidak menghubungkannya dengan konsep moral panic dalam CDA. Sensasionalisme sering kali digunakan untuk menciptakan kepanikan moral yang menguntungkan media secara ekonomi, tetapi merugikan diskursus publik. Dalam kasus Bung Towel, media dapat menggunakan kritiknya sebagai bahan bakar untuk meningkatkan engagement, tetapi memilih boikot demi stabilitas menunjukkan kontradiksi dalam praktik media.

Pendekatan yang lebih kritis akan mengeksplorasi bagaimana media dapat menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab etis. CDA mendorong media untuk tidak hanya menjadi penyampai berita, tetapi juga agen perubahan sosial yang mempromosikan wacana inklusif dan kritis.

Simpulan: Kritik dan Rekomendasi

Artikel "Boikot Pemberitaan: Solusi atau Bumerang untuk Media Massa?" menyajikan refleksi awal yang menarik, tetapi kurang mendalam dalam menganalisis relasi kekuasaan, ideologi, dan dampak sosial dari praktik boikot. Dari perspektif CDA, berikut adalah rekomendasi untuk memperkuat analisis:

  1. Framing dan Representasi: Analisis lebih dalam tentang bagaimana Bung Towel direpresentasikan dalam media dan bagaimana ini menciptakan wacana tertentu.
  2. Ideologi Media: Eksplorasi relasi kekuasaan antara media, institusi sepak bola, dan publik, serta bagaimana keputusan media mencerminkan kepentingan ideologis dan ekonomis.
  3. Hak Publik: Penekanan pada dampak boikot terhadap akses informasi masyarakat dan keberagaman wacana dalam ruang publik.
  4. Dinamika Digital: Analisis tentang bagaimana platform digital memengaruhi distribusi dan amplifikasi informasi, serta implikasinya bagi kekuasaan media tradisional.
  5. Etika Jurnalistik: Kajian tentang bagaimana media dapat menavigasi dilema antara sensasionalisme dan jurnalisme informatif dengan tetap mempertahankan tanggung jawab sosialnya.

Dengan pendekatan CDA yang lebih komprehensif, artikel ini dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap pemahaman tentang peran media dalam membentuk wacana publik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun