Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boikot Pemberitaan: Solusi atau Bumerang untuk Media Massa?

18 Januari 2025   06:30 Diperbarui: 18 Januari 2025   06:15 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tommy Welly yang akrab disapa Bung Towel saat ditemui di SPKT Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (17/1/2025). (Sumber: ANTARA/Ilham Kausar/aa)

Media massa selalu menjadi bagian penting dari kehidupan kita. Dari koran cetak, siaran televisi, hingga media daring yang kerap menampilkan notifikasi menggoda seperti, "Klik di sini untuk berita terbaru yang bikin geger!" Namun, di balik layar megah itu, ada dinamika menarik yang belakangan ini makin sering kita temui: tradisi boikot pemberitaan. Dan contoh segar datang dari dunia sepak bola Indonesia, dengan figur Bung Towel sebagai tokoh utama.

Siapa Bung Towel?

Bung Towel, atau Tommy Welly, adalah seorang komentator sepak bola yang kerap memberikan kritik pedas terhadap Timnas Indonesia. Di satu sisi, kritiknya mungkin tajam bak sembilu, tapi di sisi lain, banyak yang merasa kritiknya terlalu berlebihan hingga memantik perselisihan. Akibatnya, beberapa media memutuskan untuk "memboikot" pemberitaan tentang Bung Towel. Alasannya? Untuk menjaga iklim kondusif bagi perkembangan Timnas. Noble cause, isn't it?

Namun, mari kita lihat ini dari sudut pandang media massa. Apakah boikot seperti ini solusi yang bijak? Atau justru boikot bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak?

Berita Viral: Tulang Punggung Media

Dalam dunia media, ada istilah clickbait dan virality. Keduanya adalah senjata utama untuk menarik perhatian pembaca. Ketika Bung Towel melontarkan kritiknya, tak bisa dipungkiri bahwa itu menarik minat publik. Orang-orang ingin tahu apa yang dikatakannya, siapa yang tersinggung, dan bagaimana drama itu berlanjut. Semakin panas kontroversinya, semakin banyak klik yang didapat. Dalam istilah teknis, ini disebut dengan engagement rate --- metrik yang menjadi dewa dalam dunia media digital.

Dengan memboikot pemberitaan tentang Bung Towel, media yang terlibat mungkin merasa telah mengambil langkah moral tinggi. Namun, dari sudut pandang ekonomi, mereka juga kehilangan peluang emas untuk meningkatkan traffic dan, tentu saja, pundi-pundi pendapatan dari iklan.

Efek Domino Boikot

Boikot tidak hanya memengaruhi media, tetapi juga pembaca dan masyarakat umum. Ada istilah dalam jurnalisme, the right to know. Dengan memboikot berita tentang Bung Towel, media massa seakan-akan mengambil keputusan sepihak untuk menentukan apa yang boleh atau tidak boleh diketahui oleh publik. Di sini, kita mulai memasuki wilayah abu-abu: apakah media memiliki hak untuk membatasi informasi demi alasan moral atau politik?

Tidak hanya itu, boikot juga bisa menjadi kontraproduktif. Alih-alih meredam kontroversi, absennya pemberitaan justru memunculkan spekulasi liar. Orang-orang mulai bertanya-tanya: "Kenapa media tidak memberitakan ini?", "Apa ada konspirasi di balik ini?" Akibatnya, kontroversi malah tumbuh subur di luar kendali media.

Strategi Media: Sensasi atau Informasi?

Dalam dunia jurnalistik, ada perdebatan klasik antara dua pendekatan: sensationalism vs. informative journalism. Sensasionalisme mengejar emosi dan reaksi instan, sementara jurnalisme informatif fokus pada fakta dan analisis mendalam. Kasus Bung Towel ini memberikan dilema menarik bagi media. Memberitakan kritiknya mungkin dianggap sensasional, tapi sepenuhnya mengabaikannya juga bukan langkah informatif.

Media massa yang cerdas seharusnya mampu menavigasi di antara kedua pendekatan ini. Alih-alih memboikot sepenuhnya, mereka bisa memilih untuk menyajikan berita dengan sudut pandang yang lebih seimbang. Misalnya, mengundang Bung Towel untuk berdialog dengan pihak yang ia kritik. Format seperti ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga mendidik publik untuk melihat berbagai sudut pandang.

Etika dan Tanggung Jawab Media

Etika jurnalistik mengajarkan kita untuk mengedepankan kebenaran dan kepentingan publik. Namun, etika juga menuntut media untuk tidak memperburuk situasi. Dalam kasus Bung Towel, media mungkin merasa bahwa membiarkan kritiknya terus diberitakan hanya akan memperkeruh suasana. Namun, memboikotnya secara total juga bisa dianggap sebagai bentuk penghindaran dari tanggung jawab jurnalistik.

Di sinilah pentingnya transparansi. Jika media memutuskan untuk tidak memberitakan sesuatu, sebaiknya mereka memberikan alasan yang jelas kepada publik. Ini bukan hanya soal menjaga kredibilitas, tetapi juga menghormati hak pembaca untuk mendapatkan informasi yang relevan.

Boikot sebagai Bumerang

Mari kita bicara realitas. Dalam dunia digital saat ini, informasi mengalir seperti air. Jika satu media memutuskan untuk memboikot berita, media lain akan dengan senang hati mengambil peluang itu. Hasilnya? Media yang memboikot justru kehilangan audiens, sementara media yang memberitakan mendapat keuntungan.

Selain itu, ada fenomena yang disebut Streisand Effect. Ketika sesuatu sengaja disembunyikan, orang malah semakin penasaran. Dengan memboikot Bung Towel, media massa mungkin tanpa sadar justru memperbesar perhatian publik terhadapnya.

Bijak dalam Mengelola Informasi

Pada akhirnya, keputusan untuk memboikot pemberitaan adalah hak setiap media. Namun, media juga harus memahami konsekuensi dari keputusan tersebut, baik dari segi ekonomi, etika, maupun dampaknya pada masyarakat. Dalam kasus Bung Towel, mungkin yang dibutuhkan bukanlah boikot, tetapi pendekatan jurnalistik yang lebih kreatif dan edukatif.

Sebagai penulis opini, saya hanya bisa berharap bahwa media massa Indonesia terus belajar untuk menyeimbangkan idealisme jurnalistik dengan tuntutan industri. Karena, seperti kata pepatah, "Informasi adalah kekuatan." Dan siapa yang memegang kendali atas informasi, memegang kendali atas masyarakat.

Bravo Timnas Indonesia, dan selamat berpikir kritis, kawan-kawan media!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun