Media massa selalu menjadi bagian penting dari kehidupan kita. Dari koran cetak, siaran televisi, hingga media daring yang kerap menampilkan notifikasi menggoda seperti, "Klik di sini untuk berita terbaru yang bikin geger!" Namun, di balik layar megah itu, ada dinamika menarik yang belakangan ini makin sering kita temui: tradisi boikot pemberitaan. Dan contoh segar datang dari dunia sepak bola Indonesia, dengan figur Bung Towel sebagai tokoh utama.
Siapa Bung Towel?
Bung Towel, atau Tommy Welly, adalah seorang komentator sepak bola yang kerap memberikan kritik pedas terhadap Timnas Indonesia. Di satu sisi, kritiknya mungkin tajam bak sembilu, tapi di sisi lain, banyak yang merasa kritiknya terlalu berlebihan hingga memantik perselisihan. Akibatnya, beberapa media memutuskan untuk "memboikot" pemberitaan tentang Bung Towel. Alasannya? Untuk menjaga iklim kondusif bagi perkembangan Timnas. Noble cause, isn't it?
Namun, mari kita lihat ini dari sudut pandang media massa. Apakah boikot seperti ini solusi yang bijak? Atau justru boikot bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak?
Berita Viral: Tulang Punggung Media
Dalam dunia media, ada istilah clickbait dan virality. Keduanya adalah senjata utama untuk menarik perhatian pembaca. Ketika Bung Towel melontarkan kritiknya, tak bisa dipungkiri bahwa itu menarik minat publik. Orang-orang ingin tahu apa yang dikatakannya, siapa yang tersinggung, dan bagaimana drama itu berlanjut. Semakin panas kontroversinya, semakin banyak klik yang didapat. Dalam istilah teknis, ini disebut dengan engagement rate --- metrik yang menjadi dewa dalam dunia media digital.
Dengan memboikot pemberitaan tentang Bung Towel, media yang terlibat mungkin merasa telah mengambil langkah moral tinggi. Namun, dari sudut pandang ekonomi, mereka juga kehilangan peluang emas untuk meningkatkan traffic dan, tentu saja, pundi-pundi pendapatan dari iklan.
Efek Domino Boikot
Boikot tidak hanya memengaruhi media, tetapi juga pembaca dan masyarakat umum. Ada istilah dalam jurnalisme, the right to know. Dengan memboikot berita tentang Bung Towel, media massa seakan-akan mengambil keputusan sepihak untuk menentukan apa yang boleh atau tidak boleh diketahui oleh publik. Di sini, kita mulai memasuki wilayah abu-abu: apakah media memiliki hak untuk membatasi informasi demi alasan moral atau politik?
Tidak hanya itu, boikot juga bisa menjadi kontraproduktif. Alih-alih meredam kontroversi, absennya pemberitaan justru memunculkan spekulasi liar. Orang-orang mulai bertanya-tanya: "Kenapa media tidak memberitakan ini?", "Apa ada konspirasi di balik ini?" Akibatnya, kontroversi malah tumbuh subur di luar kendali media.
Strategi Media: Sensasi atau Informasi?
Dalam dunia jurnalistik, ada perdebatan klasik antara dua pendekatan: sensationalism vs. informative journalism. Sensasionalisme mengejar emosi dan reaksi instan, sementara jurnalisme informatif fokus pada fakta dan analisis mendalam. Kasus Bung Towel ini memberikan dilema menarik bagi media. Memberitakan kritiknya mungkin dianggap sensasional, tapi sepenuhnya mengabaikannya juga bukan langkah informatif.
Media massa yang cerdas seharusnya mampu menavigasi di antara kedua pendekatan ini. Alih-alih memboikot sepenuhnya, mereka bisa memilih untuk menyajikan berita dengan sudut pandang yang lebih seimbang. Misalnya, mengundang Bung Towel untuk berdialog dengan pihak yang ia kritik. Format seperti ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga mendidik publik untuk melihat berbagai sudut pandang.
Etika dan Tanggung Jawab Media
Etika jurnalistik mengajarkan kita untuk mengedepankan kebenaran dan kepentingan publik. Namun, etika juga menuntut media untuk tidak memperburuk situasi. Dalam kasus Bung Towel, media mungkin merasa bahwa membiarkan kritiknya terus diberitakan hanya akan memperkeruh suasana. Namun, memboikotnya secara total juga bisa dianggap sebagai bentuk penghindaran dari tanggung jawab jurnalistik.