Kita sering dengar cerita menyeramkan tentang robot dan kecerdasan buatan (AI) menggantikan manusia di tempat kerja. Mulai dari si Chatbot yang merebut pekerjaan layanan pelanggan hingga si robot industri yang merakit mobil lebih cepat daripada rekan manusia kita. Nah, sebelum kita panik massal dan menuntut "hak manusia atas robot," mari kita telusuri kenyataannya---dengan gaya santai, tentu saja.
AI: Si Tukang Kerja Keras
Sejak 2023, AI benar-benar jadi "anak emas" di banyak industri. Menurut laporan World Economic Forum (2023), sekitar 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh otomatisasi dan AI antara 2020 dan 2025. Jangan salah paham dulu. Berita baiknya, laporan yang sama juga menyebutkan 97 juta pekerjaan baru akan tercipta berkat AI. Jadi, meski beberapa pintu tertutup, ada banyak jendela terbuka (meskipun mungkin butuh sertifikasi tambahan untuk melewatinya).
Di sektor teknologi, contohnya, PHK terjadi di mana-mana. Google, pada awal 2024, memangkas 12.000 karyawan, sebagian besar karena pengalihan fokus ke AI. Microsoft mengikuti dengan 10.000 pemutusan hubungan kerja, dengan alasan efisiensi operasional. Bahkan Amazon, si raksasa e-commerce, mengucapkan selamat tinggal kepada 27.000 karyawannya selama 2023--2024. Alasannya? "AI bisa bekerja lebih cepat dan lebih baik."
Sektor manufaktur juga tak kalah dramatis. Tesla mem-PHK 14.000 karyawan pada 2023, beralih ke robot pintar yang bisa merakit mobil dengan presisi tinggi tanpa istirahat makan siang. Honda, raksasa otomotif lainnya, mengurangi 10.000 posisi, sebagian besar pekerja jalur produksi yang kini digantikan oleh teknologi otomatis.
Pekerjaan Rutin: Bye-bye, Manusia!
Kalau pekerjaanmu berbasis pola atau pengulangan, hati-hati, Sobat! AI sudah menggantikan posisi-posisi ini. Misalnya, dalam layanan pelanggan, 70% perusahaan besar menggunakan chatbot berbasis AI pada 2024. Ini berarti puluhan ribu agen layanan pelanggan manusia sudah "pensiun dini," digantikan oleh asisten virtual yang tak pernah mengeluh atau minta cuti.
Tapi, tunggu. Kalau AI menggantikan tugas kita, apa yang tersisa untuk manusia? Banyak, ternyata! Beberapa pekerjaan seperti dokter bedah, seniman kreatif, dan pemandu wisata unik masih membutuhkan sentuhan manusia. AI memang pintar, tapi ia belum bisa bikin tur wisata yang penuh lelucon dadakan (dan kadang garing).
Apa Kata Angka?
Berdasarkan laporan McKinsey (2024), 40% tugas yang biasanya dilakukan manusia kini bisa diotomatisasi oleh AI. Di sektor keuangan saja, 60% tugas analitis rutin kini dijalankan oleh algoritma AI. Jadi, akuntan dan analis keuangan? Kalian mungkin harus mulai belajar bahasa Python, bukan sekadar menghitung angka manual.
Namun, ada catatan menarik: manusia tetap dibutuhkan dalam pengambilan keputusan strategis. Bahkan di industri teknologi, perusahaan seperti Google dan Microsoft masih mengandalkan manusia untuk merancang dan mengawasi sistem AI. Jadi, meskipun AI mengerjakan pekerjaan kasar, manusia tetap jadi bosnya---setidaknya untuk saat ini.
Kesenjangan Keterampilan: Masalah Baru?
Salah satu tantangan terbesar adalah skill gap. Data dari PwCÂ (2023) menunjukkan 60% tenaga kerja global saat ini tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan teknologi AI. Ini berarti, banyak pekerja kehilangan pekerjaan bukan karena AI sepenuhnya mengambil alih, tetapi karena mereka tidak siap untuk perubahan.
Namun, ada solusi. 97 juta pekerjaan baru yang disebutkan WEFÂ sebagian besar membutuhkan keterampilan teknologi tinggi. Pekerjaan seperti pengembang AI, analis data, dan spesialis keamanan siber diproyeksikan akan melonjak permintaannya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengubah pekerja kasir menjadi analis data, atau operator pabrik menjadi programmer robotik.