Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Label Syariah: Antara Nilai, Etika dan Strategi Bisnis

16 Januari 2025   09:15 Diperbarui: 16 Januari 2025   09:19 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bisnis syariah. (Sumber: Freepik.com)

Di tengah maraknya perkembangan bisnis di Indonesia, label "syariah" semakin sering kita temui dalam berbagai sektor. Mulai dari perbankan, ojek online, rumah makan, hingga penginapan, semuanya berlomba menggunakan label ini. Namun, apakah label syariah semata-mata milik pengusaha Muslim? Bagaimana jika pemilik bisnis non-Muslim ingin menggunakannya? Dan lebih jauh lagi, siapa yang mengawasi bahwa label ini benar-benar merepresentasikan prinsip syariah?

Mengapa Label Syariah Penting?

Pertama, label syariah memiliki daya tarik tersendiri, terutama di negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Bagi konsumen, label ini menjadi semacam jaminan bahwa bisnis tersebut mematuhi prinsip-prinsip Islam, seperti menghindari riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian). Selain itu, produk yang ditawarkan juga harus halal secara substansi.

Bagi pelaku usaha, label syariah lebih dari sekadar strategi pemasaran. Ini adalah identitas yang mencerminkan komitmen mereka untuk menjalankan bisnis secara etis dan sesuai dengan ajaran agama. Ketika label ini melekat, ada tanggung jawab moral dan legal yang harus diemban.

Apakah Non-Muslim Bisa Menggunakan Label Syariah?

Pertanyaan ini sering memancing diskusi menarik. Jika prinsip syariah adalah soal keadilan, transparansi, dan menghindari praktik-praktik yang dilarang dalam Islam, maka tidak ada alasan bagi pemilik bisnis non-Muslim untuk tidak bisa mengikuti prinsip tersebut. Selama operasional bisnisnya sesuai dengan standar syariah, mereka berhak menggunakannya.

Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. Pemilik bisnis non-Muslim harus benar-benar memahami dan mematuhi aturan syariah secara konsisten. Tidak bisa label ini hanya digunakan untuk menarik konsumen Muslim tanpa implementasi nyata. Misalnya, restoran dengan label syariah harus memastikan bahan-bahan yang digunakan benar-benar halal, mulai dari proses produksi hingga penyajiannya.

Peran Otoritas Pengawas

Di sinilah peran otoritas pengawas menjadi sangat penting. Dalam konteks bisnis syariah di Indonesia, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) memegang peranan utama. Sertifikasi halal dan audit syariah adalah instrumen yang memastikan bahwa bisnis, baik milik Muslim maupun non-Muslim, menjalankan prinsip-prinsip syariah dengan benar.

Namun, tantangan terbesar adalah memastikan pengawasan ini tidak hanya sekadar formalitas. Jangan sampai label syariah menjadi sekadar "stempel halal" tanpa ada upaya nyata untuk memeriksa operasional bisnis secara berkelanjutan. Transparansi dari lembaga pengawas juga diperlukan agar konsumen percaya bahwa label syariah yang diberikan benar-benar kredibel.

Label Syariah: Antara Nilai dan Strategi Bisnis

Banyak yang berargumen bahwa label syariah bisa menjadi strategi bisnis yang menguntungkan, terutama di pasar dengan mayoritas Muslim. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menjadi bumerang. Konsumen masa kini semakin kritis. Mereka tidak hanya melihat pada klaim "syariah", tetapi juga bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Misalnya, ojek online dengan label syariah tidak cukup hanya menyediakan layanan yang terpisah antara penumpang pria dan wanita. Mereka juga harus memastikan bahwa seluruh sistem pembayaran, kontrak kerja, dan praktik operasional lainnya bebas dari unsur riba atau ketidakadilan.

Di sisi lain, label syariah juga harus memfasilitasi inklusivitas. Artinya, bisnis yang ingin mematuhi prinsip syariah tidak boleh merasa terbatas hanya karena pemiliknya bukan Muslim. Selama mereka berkomitmen pada prinsip yang sama, mereka seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan label ini.

Menuju Bisnis yang Baik, Tanpa Label Berlebihan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun