Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghidupkan Empati di Tengah Musibah di Era Digital

15 Januari 2025   09:12 Diperbarui: 15 Januari 2025   09:12 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diam yang Bijak di Era Media Sosial

Media sosial telah menjadi panggung global bagi manusia untuk berbagi cerita, opini, hingga luapan emosi. Namun, dalam situasi genting seperti bencana besar --- contohnya kebakaran di Los Angeles --- media sosial sering kali menjadi arena yang memicu perdebatan, kritik, bahkan candaan yang tidak pada tempatnya. Di sinilah pentingnya memahami, kapan kita perlu diam dan kapan kita harus berbicara.

Mengapa Banyak Orang Kurang Berempati di Media Sosial?

Ada beberapa alasan mengapa empati sering kali terpinggirkan di ruang digital:

  1. Jarak Geografis dan Emosional
    Ketika musibah terjadi jauh dari tempat tinggal kita, rasanya mudah untuk merasa tidak terhubung. Apalagi jika kita tidak memiliki pengalaman langsung yang mirip. Hal ini membuat sebagian orang hanya memandang bencana sebagai berita, bukan tragedi yang menimpa sesama manusia.

  2. Kejenuhan Informasi
    Bayangkan betapa seringnya Anda melihat berita bencana di timeline Anda. Kebakaran, banjir, gempa, hingga konflik politik silih berganti. Otak manusia, sayangnya, punya batasan untuk memproses tragedi secara emosional. Lama-kelamaan, rasa iba bisa berubah menjadi apati.

  3. Budaya Komentar Cepat
    Media sosial mendorong orang untuk merespons secepat mungkin --- sering kali tanpa berpikir panjang. Dalam hitungan detik, orang bisa melontarkan opini atau candaan yang, meskipun lucu di mata mereka, berpotensi menyakiti hati orang lain.

Pentingnya Diam yang Bijak

Diam bukan berarti tidak peduli. Sebaliknya, diam adalah bentuk kebijaksanaan, terutama di era digital yang penuh dengan kebisingan. Berikut beberapa alasan mengapa diam adalah respons yang lebih baik:

  1. Menghindari Salah Ucap
    Terkadang, niat baik kita tidak tersampaikan dengan tepat. Di ruang digital yang minim konteks, komentar yang sebenarnya netral bisa dianggap ofensif. Diam memberi kita ruang untuk berpikir sebelum berbicara.

  2. Mengurangi Polarisasi
    Bencana sering kali dikaitkan dengan isu politik, lingkungan, atau ekonomi. Perdebatan yang tidak relevan justru memperburuk situasi. Dengan tidak ikut berkomentar, kita membantu menjaga fokus pada inti masalah.

  3. Memberi Ruang untuk Aksi Nyata
    Alih-alih sibuk berkomentar, kita bisa mengalihkan energi untuk hal yang lebih produktif, seperti berdonasi, menyebarkan informasi yang kredibel, atau sekadar berdoa untuk korban.

Jika Harus Berbicara, Bagaimana Caranya?

Ada kalanya kita merasa perlu menyuarakan opini atau menyebarkan informasi. Jika demikian, pastikan kita melakukannya dengan cara yang bijak:

  1. Fokus pada Solidaritas
    Gunakan kata-kata yang menunjukkan dukungan, seperti "Semoga para korban diberi kekuatan," atau "Mari kita bersama-sama membantu mereka." Hindari komentar yang menyalahkan atau mengkritik pihak tertentu tanpa dasar.

  2. Bagikan Informasi yang Valid
    Sebelum membagikan berita atau tautan donasi, pastikan sumbernya terpercaya. Hoaks tentang bencana bisa memperparah penderitaan korban.

  3. Hindari Candaan Tidak Pantas
    Bencana bukanlah momen untuk bercanda. Meski niatnya hanya untuk "meringankan suasana," ingatlah bahwa ada orang yang benar-benar menderita di luar sana.

Menghidupkan Empati di Era Digital

Empati adalah kunci untuk membangun solidaritas, baik secara online maupun offline. Berikut beberapa cara sederhana untuk menghidupkan empati di era digital:

  1. Latih Diri untuk Memahami Perspektif Orang Lain
    Sebelum berkomentar, coba bayangkan bagaimana rasanya jika Anda berada di posisi korban. Pertanyaan sederhana seperti "Bagaimana perasaan saya jika mengalami hal ini?" bisa membantu kita merespons dengan lebih bijak.

  2. Gunakan Media Sosial untuk Menginspirasi
    Bagikan kisah-kisah inspiratif tentang bagaimana orang-orang membantu korban. Ini tidak hanya menyebarkan energi positif tetapi juga mendorong orang lain untuk ikut peduli.

  3. Tunjukkan Kepedulian dengan Tindakan
    Jika memungkinkan, ikutlah berdonasi atau menjadi sukarelawan. Meski kecil, tindakan nyata jauh lebih berarti daripada ribuan kata di media sosial.

  4. Ajak Orang Lain untuk Peduli
    Gunakan media sosial untuk menggalang dukungan. Ajak teman-teman Anda berdonasi, atau sebarkan tautan ke organisasi yang terpercaya. Dengan begitu, Anda tidak hanya berempati tetapi juga menjadi agen perubahan.

Pilih Kata, Pilih Sikap

Media sosial adalah alat yang kuat, tetapi kekuatan itu bisa menjadi pedang bermata dua. Dalam situasi bencana, kita harus lebih bijak menggunakan platform ini. Jika Anda ragu apakah komentar Anda akan membantu atau malah menyakiti, lebih baik diam dan beraksi nyata. Ingat, empati bukan tentang seberapa keras Anda bersuara, tetapi seberapa besar Anda peduli melalui tindakan.

Semoga kita semua bisa menjadi individu yang lebih peduli, lebih bijak, dan lebih empatik --- baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun