Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghidupkan Empati di Tengah Musibah di Era Digital

15 Januari 2025   09:12 Diperbarui: 15 Januari 2025   09:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran di kota Los Angeles. (AFP/JOSH EDELSON)

Diam yang Bijak di Era Media Sosial

Media sosial telah menjadi panggung global bagi manusia untuk berbagi cerita, opini, hingga luapan emosi. Namun, dalam situasi genting seperti bencana besar --- contohnya kebakaran di Los Angeles --- media sosial sering kali menjadi arena yang memicu perdebatan, kritik, bahkan candaan yang tidak pada tempatnya. Di sinilah pentingnya memahami, kapan kita perlu diam dan kapan kita harus berbicara.

Mengapa Banyak Orang Kurang Berempati di Media Sosial?

Ada beberapa alasan mengapa empati sering kali terpinggirkan di ruang digital:

  1. Jarak Geografis dan Emosional
    Ketika musibah terjadi jauh dari tempat tinggal kita, rasanya mudah untuk merasa tidak terhubung. Apalagi jika kita tidak memiliki pengalaman langsung yang mirip. Hal ini membuat sebagian orang hanya memandang bencana sebagai berita, bukan tragedi yang menimpa sesama manusia.

  2. Kejenuhan Informasi
    Bayangkan betapa seringnya Anda melihat berita bencana di timeline Anda. Kebakaran, banjir, gempa, hingga konflik politik silih berganti. Otak manusia, sayangnya, punya batasan untuk memproses tragedi secara emosional. Lama-kelamaan, rasa iba bisa berubah menjadi apati.

  3. Budaya Komentar Cepat
    Media sosial mendorong orang untuk merespons secepat mungkin --- sering kali tanpa berpikir panjang. Dalam hitungan detik, orang bisa melontarkan opini atau candaan yang, meskipun lucu di mata mereka, berpotensi menyakiti hati orang lain.

Pentingnya Diam yang Bijak

Diam bukan berarti tidak peduli. Sebaliknya, diam adalah bentuk kebijaksanaan, terutama di era digital yang penuh dengan kebisingan. Berikut beberapa alasan mengapa diam adalah respons yang lebih baik:

  1. Menghindari Salah Ucap
    Terkadang, niat baik kita tidak tersampaikan dengan tepat. Di ruang digital yang minim konteks, komentar yang sebenarnya netral bisa dianggap ofensif. Diam memberi kita ruang untuk berpikir sebelum berbicara.

  2. Mengurangi Polarisasi
    Bencana sering kali dikaitkan dengan isu politik, lingkungan, atau ekonomi. Perdebatan yang tidak relevan justru memperburuk situasi. Dengan tidak ikut berkomentar, kita membantu menjaga fokus pada inti masalah.

  3. Memberi Ruang untuk Aksi Nyata
    Alih-alih sibuk berkomentar, kita bisa mengalihkan energi untuk hal yang lebih produktif, seperti berdonasi, menyebarkan informasi yang kredibel, atau sekadar berdoa untuk korban.

Jika Harus Berbicara, Bagaimana Caranya?

Ada kalanya kita merasa perlu menyuarakan opini atau menyebarkan informasi. Jika demikian, pastikan kita melakukannya dengan cara yang bijak:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun