Pergantian Pelatih Sepakbola: Wajar, Lazim, dan Kadang Lucu
Dalam dunia sepak bola, pergantian pelatih adalah kisah klasik yang tidak pernah habis dibahas. Kalau istilah orang Jawa, "gur sak nyedep wedang, wis ganti mane" (baru saja minum teh, sudah ganti lagi). Pergantian pelatih sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sepak bola, baik di level klub maupun tim nasional. Namun, apakah ini sesuatu yang buruk? Eits, jangan buru-buru ambil kesimpulan! Mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih santai dan, tentunya, sedikit lucu-lucuan.
Klub-Klub dengan Rekor Pergantian Pelatih
Pertama, mari kita bahas soal klub-klub yang terkenal sering mengganti pelatih. Ambil contoh Inter Milan. Sejak era gemilang bersama Jose Mourinho (yang bertahan 1 tahun 11 bulan), Inter seperti rindu drama. Dalam 10 tahun setelah treble 2010, mereka mengganti pelatih sebanyak 11 kali! Ada Rafael Bentez (6 bulan), Gian Piero Gasperini (3 bulan), hingga Frank de Boer yang bahkan cuma 3 bulan. Kalau dihitung, mungkin para pelatih ini lebih sibuk mencari rumah kontrakan daripada merancang taktik.
Tidak mau kalah, tetangganya, AC Milan, juga punya cerita serupa. Dalam dekade terakhir, Milan punya 9 pelatih. Ada Clarence Seedorf (5 bulan), Filippo Inzaghi (1 tahun), hingga Marco Giampaolo (4 bulan). Sepertinya, Milan menganggap "durasi singkat" adalah cara efektif menguji kesabaran suporter.
Kalau bicara Inggris, tentu ada Chelsea FC, klub milik Roman Abramovich yang terkenal hobi gonta-ganti pelatih. Dari Carlo Ancelotti (1 tahun 11 bulan) hingga Thomas Tuchel (1 tahun 8 bulan), Chelsea seakan menempatkan pelatih dalam daftar "kontrak coba-coba".
Lalu, ada Real Madrid, yang meskipun sering ganti pelatih, tetap membawa pulang trofi. Kalau dihitung, pergantian pelatih di Real Madrid ibarat mencoba makanan baru di restoran: sering tapi tetap enak.
Tim Nasional Indonesia: Masterclass Pergantian Pelatih
Kalau di level tim nasional, jangan lupa menyebut PSSI. Sejak era Johannes Mastenbroek (4 tahun) hingga Shin Tae-yong (6 tahun), kita punya daftar panjang pelatih dengan durasi yang bikin bingung: ada yang cuma 2 bulan, ada yang bertahan setahun, dan ada yang balik lagi seperti sinetron kejar tayang.
Mari kita ambil contoh:
- Benny Dollo: Tiga kali melatih timnas (2000--2001, 2008--2010, 2015), totalnya tidak sampai 5 tahun.
- Alfred Riedl: Juga tiga kali melatih (2010--2011, 2013--2014, 2016). Kalau ada Piala Dunia Pelatih Kembali, Riedl pasti menang.
- Luis Milla: Bertahan 1 tahun (2017--2018), meninggalkan kesan mendalam tapi sayangnya tak sempat panjang umur.
Tidak lupa, nama-nama seperti Simon McMenemy dan Bima Sakti juga masuk dalam kategori "pelatih kilat". Kalau dihitung, rata-rata pelatih PSSI mungkin hanya perlu membawa satu koper kecil saat pindah kerja.
Mengapa Pergantian Pelatih Itu Wajar?
"Pelatih itu bukan dewa," kata seorang komentator sepak bola. Kalau pemain tidak perform, siapa yang disalahkan? Pelatih. Kalau tim kalah, siapa yang kena semprot? Pelatih. Ini memang bagian dari risiko pekerjaan. Dalam sepak bola, pergantian pelatih sering dianggap sebagai solusi instan untuk memperbaiki performa tim. Apakah selalu berhasil? Tidak juga.
Namun, pergantian pelatih sebenarnya adalah hal lazim. Dalam dunia bisnis, pergantian CEO sering dilakukan untuk menghadirkan ide segar. Hal yang sama berlaku di sepak bola. Kadang, tim butuh pendekatan baru atau bahkan sekadar "ganti suasana". Kalau kata orang Sunda, "teu betah ku anu eta-eta keneh" (bosan dengan yang itu-itu saja).