Ada juga kisah-kisah lucu soal pergantian pelatih. Misalnya, ketika Gian Piero Gasperini dipecat oleh Inter setelah hanya memimpin 5 pertandingan. Atau kisah Frank de Boer yang disebut "pelatih terburuk" oleh seorang pundit setelah bertahan hanya 85 hari di Crystal Palace.
Di Indonesia, kita pernah melihat fenomena "pelatih lokal vs pelatih asing". Setiap kali pelatih asing gagal, muncul seruan, "Kembali ke pelatih lokal!" Begitu pelatih lokal gagal, teriakan berubah, "Cari pelatih asing lagi!" Begitu terus seperti lingkaran setan.
Apa Dampaknya bagi Tim?
Pergantian pelatih sering kali membawa dampak positif dalam jangka pendek. Efek "new manager bounce" adalah fenomena di mana tim mendadak bermain lebih baik setelah pelatih baru datang. Namun, dalam jangka panjang, pergantian terlalu sering bisa menciptakan ketidakstabilan.
Tim seperti Real Madrid mungkin bisa bertahan karena memiliki pemain kelas dunia. Namun, di level tim yang lebih rendah, sering gonta-ganti pelatih bisa menjadi bumerang. Pemain kebingungan dengan taktik baru, sementara fans kehilangan kepercayaan pada manajemen.
Santai Saja, Nikmati Dramanya
Pergantian pelatih adalah bagian dari dinamika sepak bola yang membuatnya semakin menarik. Bagi fans, ini adalah sumber hiburan dan bahan diskusi di warung kopi. Bagi pelatih, ini adalah tantangan sekaligus risiko pekerjaan.
Jadi, apakah pergantian pelatih itu buruk? Tidak juga. Kadang perlu. Kadang lucu. Dan selalu menarik untuk diikuti. Yang penting, baik klub maupun federasi, harus paham kapan waktu yang tepat untuk melakukannya. Kalau tidak, bisa-bisa mereka jadi bahan meme di media sosial.
Seperti kata pepatah sepak bola: "Pelatih datang dan pergi, tapi fans setia tetap di sini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H