Dan jangan lupa, makanan yang dibawa pulang juga bisa jadi solusi anti-waste. Daripada lauk udang dilempar ke tempat sampah, lebih baik dibawa pulang dan dimasak ulang untuk keluarga. Iya, saya tahu, ada orang yang alergi udang tapi keluarga mereka tetap suka makan udang. Situasi seperti ini bisa jadi win-win solution.
Cerita Lucu di Balik Program
Bayangkan skenario ini: Seorang anak, sebut saja Budi, alergi ikan. Hari itu menu makan siang di sekolah adalah nasi dengan ikan goreng. Karena sudah tahu dari awal, ibunya membekalkan ayam goreng. Tapi Budi lupa membawa wadah untuk ikan goreng yang harus dibawa pulang. Apa yang terjadi? Gurunya akhirnya menyelamatkan ikan tersebut dengan membungkusnya pakai kertas ujian minggu lalu.
Atau, skenario lain. Ada anak yang tidak alergi, tapi pilih-pilih makanan. Ketika temannya membawa lauk dari rumah, dia mulai melirik dan berkata, "Eh, ayam gorengmu lebih enak tuh daripada ikan goreng sekolah." Jadilah barter lauk di tengah jam makan siang.
Penutup
Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah besar yang patut diapresiasi. Tapi, seperti halnya semua inisiatif baru, ada ruang untuk perbaikan. Dengan transparansi menu dan kerja sama antara orang tua, sekolah, dan penyelenggara, kita bisa memastikan program ini berjalan lancar dan inklusif.
Jadi, mari kita dukung program ini dengan semangat positif. Jika ada tantangan, hadapi dengan tawa dan solusi. Ingat, makan bergizi itu bukan cuma soal isi perut, tapi juga soal menciptakan generasi yang sehat dan bahagia. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti program ini juga jadi inspirasi buat negara lain. Kalau sudah begitu, kita bisa bilang, "Lihat tuh, orang Indonesia nggak cuma pandai makan gratis, tapi juga pandai mikir cerdas!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H