Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Joshua Bell, Kereta Bawah Tanah, dan Hidup yang Sering Tak Adil

8 Januari 2025   19:29 Diperbarui: 8 Januari 2025   19:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joshua Bell, pemain biola kelas dunia. (Sumber: Joshuabell.com)

Bayangkan suatu pagi di sebuah stasiun kereta bawah tanah Washington, DC. Keramaian adalah hal biasa: orang-orang bergegas ke tempat kerja, mengejar kereta, atau sibuk memikirkan hari yang panjang di kantor. Di sudut stasiun, berdiri seorang pria sederhana dengan biola di tangannya. Ia mulai memainkan musik yang luar biasa indah, salah satu karya Bach yang paling rumit. Tapi, tak banyak orang yang berhenti.

Pria itu adalah Joshua Bell, salah satu pemain biola terbaik dunia. Biola yang ia mainkan adalah Stradivarius senilai $3,5 juta (Rp50 miliar). Dua hari sebelumnya, ia tampil di konser mewah dengan tiket seharga $100 (Rp1,5 juta) per orang dan tempat duduk penuh sesak. Tapi di stasiun kereta, selama 45 menit ia hanya mendapat sekitar Rp450 ribu ($30) dalam bentuk recehan dari orang-orang yang lewat. Sebuah pengingat pahit: bakat luar biasa pun sering kali terabaikan jika berada di tempat yang salah.

Eksperimen Sosial yang Menyentuh Realitas Hidup

Eksperimen ini dilakukan oleh The Washington Post untuk melihat apakah orang-orang akan menghargai seni dan keahlian di luar konteks yang biasa. Hasilnya? Hampir semua orang melewati Joshua Bell tanpa menyadari siapa dia atau seberapa hebat musik yang ia mainkan. Bagi mereka, dia hanyalah pengamen biasa di stasiun kereta.

Sekarang, coba pikirkan: berapa banyak "Joshua Bell" di sekitar kita yang keahliannya tidak diakui hanya karena mereka berada di lingkungan yang salah? Mungkin itu temanmu yang jago desain grafis tapi kerjanya hanya bikin brosur, atau tetanggamu yang pintar merancang aplikasi tapi masih dianggap remeh karena tinggal di kampung.

Ini tidak hanya tentang seni atau musik. Di dunia kerja Indonesia yang sering sibuk dengan politik kantor, deadline, dan KPI, talenta luar biasa pun sering kali terabaikan. Kadang, bos lebih menghargai siapa yang datang paling pagi daripada siapa yang benar-benar bekerja keras dan membawa hasil.

Pelajaran dari Eksperimen Joshua Bell

Eksperimen ini mengajarkan dua hal penting. Pertama, tempat itu sangat menentukan nilai seseorang. Sama seperti biola Stradivarius lebih dihargai di konser mewah daripada di stasiun kereta, talenta kita juga memerlukan lingkungan yang tepat agar dihargai.

Kedua, orang sering kali terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri untuk menyadari keindahan di sekitar. Dalam konteks Indonesia, ini seperti kita yang terburu-buru melewati pengamen jalanan tanpa mendengar apakah mereka sedang memainkan lagu klasik atau hanya menyanyikan lagu pop biasa. Atau di kantor, ketika kita tidak menyadari ada kolega yang selalu membantu menyelesaikan masalah tim secara diam-diam tanpa mencari pujian.

Moral Cerita untuk Hidupmu

Pesan moral dari kisah Joshua Bell ini sederhana tapi penting: kenali nilaimu dan pilihlah tempat yang bisa menghargainya. Jika kamu merasa seperti "pengamen di stasiun kereta" dalam pekerjaanmu sekarang, jangan buru-buru menyerah. Bisa jadi, kamu memang berada di tempat yang salah. Tapi juga bisa jadi, kamu belum menunjukkan potensimu sepenuhnya.

Namun, ada hal yang perlu diingat: tempat yang salah bukan alasan untuk tidak memberikan yang terbaik. Joshua Bell tidak berhenti memainkan karya Bach di stasiun hanya karena orang-orang tidak menghargainya. Ia tetap memberikan penampilan terbaiknya. Jadi, meskipun kamu merasa undervalued di tempatmu sekarang, tetaplah bekerja dengan sepenuh hati. Siapa tahu, ada "konduktor besar" yang sedang memperhatikanmu secara diam-diam.

Motivasi dengan Sentuhan Humor

Mari kita buat lebih ringan: hidup ini seperti nasi goreng. Di warung tenda pinggir jalan, harganya Rp15 ribu. Di kafe mewah, bisa jadi Rp75 ribu. Di hotel bintang lima, mungkin harganya Rp150 ribu. Apakah nasinya berbeda? Tidak. Yang membedakan adalah tempatnya.

Begitu juga dengan dirimu. Kalau hari ini kamu merasa nilaimu cuma "nasi goreng Rp15 ribu," jangan sedih. Mungkin kamu hanya berada di warung tenda. Suatu hari nanti, kamu bisa pindah ke "hotel bintang lima" di mana potensimu dihargai lebih mahal.

Tapi sambil menunggu kesempatan itu, jangan lupa untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Kalau nasinya hangus, bumbu kurang, atau ayamnya lupa digoreng, ya orang tetap tidak mau membayar mahal. Jadi, sambil mencari tempat yang lebih baik, pastikan "resep" dirimu sudah matang.

Jangan Takut Cari Panggung Baru

Hidup adalah panggung, dan kita semua adalah pemain. Jika panggungmu saat ini tidak memberikan sorotan yang cukup, carilah panggung baru. Tapi ingat, jangan lupa membawa biola terbaikmu, atau dalam kasus ini, keahlian terbaikmu.

Dan jika semua gagal, setidaknya kamu bisa memanfaatkan pengalaman ini untuk menjadi bahan cerita lucu di masa depan. Siapa tahu, seperti Joshua Bell, kisahmu juga akan menginspirasi banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun