Ah, PSSI lagi, PSSI lagi. Baru saja kita menikmati secangkir kopi tanpa gula di siang bolong ini, tiba-tiba kabar pemecatan Shin Tae-yong menghiasi lini masa. Kabar ini, jujur saja, seperti drama Korea yang alurnya selalu penuh kejutan: hubungan mesra, konflik kecil, lalu ending yang bikin penonton menelan ludah sambil bergumam, "Hah, sudah selesai?"
Pemecatan yang Bukan Sekadar Pemecatan
Mari kita bahas dulu kata "pecat." Ini kata yang tegas, lugas, dan sedikit brutal. Tapi di dunia sepak bola, "pecat" adalah kata yang biasa muncul, seperti kartu merah untuk pelanggaran keras. Kita tidak asing mendengar pelatih hebat---dari Jose Mourinho hingga Carlo Ancelotti---dipecat oleh klub besar tanpa ampun. Jadi, apakah Shin Tae-yong harus merasa spesial? Tentu saja. Dia kan sudah membantu Tim Garuda mencatat kemenangan manis melawan Arab Saudi! Tapi ya, nasib pelatih, seperti kata pepatah, "Habis manis, sepah dibuang."
PSSI dalam pernyataannya bilang keputusan ini diambil setelah pertimbangan panjang dan evaluasi mendalam. Hmm, kalau melihat pola sebelumnya, evaluasi panjang itu biasanya berarti "kita sudah capek debat di ruang rapat, mending langsung ganti pelatih aja."
Antara Mimpi dan Realita
Mari kita jujur. Harapan publik terhadap Shin Tae-yong tinggi banget, seperti tinggi bulu tangkis melawan smash Anthony Ginting. Semua berharap Indonesia masuk Piala Dunia 2026, bahkan mungkin juara ASEAN Cup. Tapi apa daya, timnas kita masih berjuang menghadapi tim-tim besar Asia yang seperti raksasa di atas lapangan.
Kegagalan di ASEAN Cup 2024 tampaknya menjadi pemantik utama. Padahal, kalau mau adil, Shin Tae-yong sebenarnya berhasil membuat Tim Garuda lebih percaya diri. Tim kita jadi lebih disiplin, punya pola main yang jelas, bahkan berhasil mengalahkan Arab Saudi---prestasi yang dulu hanya bisa kita bayangkan dalam mimpi siang bolong.
Tapi ya, sepak bola Indonesia selalu punya standar ganda. Pelatih diharapkan membawa perubahan besar dalam waktu singkat, seperti mie instan yang siap saji. Kalau tidak berhasil? Ya sudah, "pecat saja!" Kata ini seperti mantra sakti yang terus diulang-ulang PSSI.
Drama Korea Versi PSSI
Mari kita anggap hubungan PSSI dan Shin Tae-yong ini seperti drama Korea. Ada cinta pada pandangan pertama: "Pelatih dari Korea, pasti keren! Lihat tuh kerjaannya di Piala Dunia bersama Korea Selatan!" Lalu datang masa-masa indah: kemenangan di kualifikasi, semangat juang timnas meningkat. Tapi, layaknya semua drama, konflik pun muncul. Target tak tercapai, tekanan publik membesar, dan akhirnya, cinta itu kandas.
Yang membuat kisah ini makin seru adalah gaya PSSI mengumumkan pemecatan. Kata-kata seperti "evaluasi menyeluruh" dan "demi tujuan jangka panjang" terdengar seperti surat cinta yang berusaha memutuskan hubungan tanpa terlalu menyakitkan hati. Tapi, tetap saja, "pecat" adalah "pecat." Tidak ada cara halus untuk menyampaikan itu.
Apa Selanjutnya?
Setelah Shin Tae-yong, pertanyaan besar adalah: siapa penggantinya? Apakah PSSI akan membawa pelatih asing lagi? Atau kali ini kita mencoba pelatih lokal? Jangan-jangan, nanti muncul nama baru yang diharapkan bisa membawa timnas ke level berikutnya, hanya untuk dipecat lagi saat target belum tercapai.
Dan yang lebih penting, apa sebenarnya target PSSI? Jika tujuan jangka panjang adalah masuk Piala Dunia, maka pergantian pelatih terus-menerus bukanlah strategi yang efektif. Tim sepak bola, seperti tanaman bonsai, butuh waktu dan kesabaran untuk tumbuh. Mengganti pelatih setiap kali ada kegagalan hanya akan membuat tim kehilangan stabilitas.
Mungkin sudah saatnya PSSI belajar bahwa keberhasilan tidak datang dalam sekejap. Butuh konsistensi, komitmen, dan yang terpenting, visi yang jelas. Kita bisa mencontoh Jepang, yang berhasil membangun tim sepak bola kelas dunia karena investasi jangka panjang dalam pembinaan pemain muda dan stabilitas manajemen.
Harapan di Tengah Kekacauan
Sebagai rakyat pecinta sepak bola, kita hanya bisa berharap drama ini tidak mengulangi pola lama. PSSI harusnya belajar dari pengalaman ini dan mulai fokus pada pembangunan sepak bola secara keseluruhan, bukan hanya pada pergantian pelatih.
Adapun untuk Shin Tae-yong, semoga dia tidak terlalu kecewa. Kalau ada yang bilang, "Bukan kamu, ini aku," itu pasti PSSI. Dan bagi kita semua, mari jadikan pemecatan ini sebagai pengingat bahwa sepak bola Indonesia butuh lebih dari sekadar pelatih baru. Kita butuh perubahan sistemik---yang sayangnya, masih seperti unicorn: semua tahu ada, tapi sulit ditemukan.
Jadi, mari kita angkat cangkir kopi kita, untuk Shin Tae-yong, untuk PSSI, dan untuk drama-drama sepak bola yang tidak pernah kehabisan cerita. Dan siapa tahu? Mungkin suatu saat nanti, kita benar-benar melihat Garuda terbang tinggi di Piala Dunia. Karena, seperti kata orang bijak, harapan adalah inti dari semua drama---dan kita, pecinta sepak bola Indonesia, selalu punya harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H