Dari Kenya dan Indonesia, kita belajar bahwa dunia ini penuh dengan paradoks. Kenya, negara dengan salah satu inovasi fintech terbaik di dunia, juga punya presiden yang dinominasikan untuk penghargaan yang, katakanlah, kurang prestisius. Di sisi lain, Indonesia, dengan segala kekuatan ekonominya, masih harus menghadapi sorotan tajam terkait isu korupsi.
Namun, ini bukan hanya soal pemimpin. Ini tentang sistem, budaya, dan upaya kolektif untuk memperbaiki keadaan. Jika Kenya bisa mengubah wajah Afrika dengan M-Pesa dan startup-startup brilian, dan jika Indonesia bisa membangun MRT serta jalan tol di atas ribuan pulau, maka mungkin saja kedua negara ini juga mampu menghadapi tantangan besar mereka: korupsi.
Sedikit Humor Saja
Bayangkan jika penghargaan OCCRP ini diadakan dengan format gala dinner, lengkap dengan pidato penerimaan. Presiden Kenya mungkin akan berkata, "Saya berterima kasih kepada rakyat Kenya atas dukungan mereka. Lebih dari 40.000 nominasi! Jumlah ini hampir sama dengan tiket stadion utama di Nairobi jika penuh sesak." Sementara itu, mantan Presiden Jokowi mungkin akan mengambil pendekatan yang lebih santai, "Saya pikir ini salah masuk daftar. Bukannya saya sudah fokus membangun jalan tol?"
Tentu saja, tidak ada gala dinner. Tapi tetap saja, nama-nama ini kini tercatat dalam sejarah OCCRP. Untuk alasan baik atau buruk, itu tergantung siapa yang Anda tanyakan.
Penutup: Ayo Berubah
Meski cerita ini lucu dan sedikit menggelitik, ada pelajaran besar di baliknya. Baik Kenya maupun Indonesia punya potensi luar biasa. Inovasi teknologi Kenya bisa menjadi inspirasi, begitu juga dengan pembangunan infrastruktur Indonesia. Namun, potensi ini hanya bisa terwujud sepenuhnya jika korupsi dan kejahatan terorganisir diberantas.
Seperti peribahasa yang sering kita dengar, "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, tetapi kuman di seberang lautan tampak." Ini adalah pengingat bahwa pembenahan dimulai dari diri sendiri sebelum menilai yang lain. Semoga kita semua mampu melihat gajah di pelupuk mata kita dengan jelas.
Jadi, mari berharap bahwa cerita ini menjadi pengingat, bukan hanya bagi pemimpin, tetapi juga bagi rakyat, bahwa demokrasi dan keadilan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Mereka harus diperjuangkan, setiap hari, di setiap tingkat. Karena pada akhirnya, penghargaan terbaik bukanlah dari OCCRP, tetapi dari sejarah yang mencatat bahwa kita berhasil berubah menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H