Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ekonomi Indonesia: Masalah dan Jalan Keluar

4 Januari 2025   07:20 Diperbarui: 4 Januari 2025   06:57 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) terlihat dari Istana Garuda Ibu Kota Nusantara (IKN)(Sumber: KOMPAS.com/HILDA B ALEXANDER)

Belakangan ini, muncul opini yang menyebut bahwa ekonomi Indonesia berada dalam kondisi "hopeless" atau tanpa harapan. Pandangan tersebut menyebutkan bahwa ada tiga masalah utama yang membuat ekonomi sulit bergerak maju, yaitu:

  1. Risiko Kredit Macet: Perpanjangan restrukturisasi kredit yang dilakukan pemerintah dinilai memperbesar potensi munculnya "perusahaan zombie" atau perusahaan yang tidak lagi produktif tetapi tetap bertahan secara administratif. Menurut pendapat tersebut, hal ini menciptakan bom waktu bagi perbankan, karena debitor yang mendapatkan restrukturisasi sebenarnya sudah tidak mampu membayar.

  2. Seretnya Likuiditas: Pandangan ini juga menyoroti bahwa likuiditas dalam negeri tertekan karena Surat Berharga Negara (SBN) dan instrumen moneter Bank Indonesia (BI) yang menyerap dana dari perbankan dan lembaga keuangan non-bank. Akibatnya, dana yang seharusnya mengalir ke sektor riil menjadi berkurang, sehingga menghambat ekspansi bisnis.

  3. Utang Publik yang Tinggi: Total utang sektor publik Indonesia yang mencapai 79,5% dari PDB dikatakan berisiko, terutama karena sebagian besar utang berada dalam denominasi valuta asing. Jika terjadi capital outflow, dikhawatirkan akan melemahkan nilai tukar rupiah dan mengguncang stabilitas ekonomi.

Dengan tiga masalah tersebut, opini tersebut menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia berada dalam situasi sulit. Solusi yang diajukan termasuk memangkas APBN hingga 30%, menghentikan proyek besar seperti IKN, dan fokus pada program-program yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Namun, narasi yang terlalu pesimistis seperti ini perlu dilihat secara kritis. Meskipun tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia nyata, menyebutnya tanpa harapan adalah pendekatan yang tidak konstruktif. Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan sudut pandang alternatif dan solusi yang lebih realistis.

Relaksasi Kredit: Solusi yang Diperpanjang, Bukan Masalah Tanpa Akhir

Perpanjangan restrukturisasi kredit oleh pemerintah memang bisa memunculkan risiko "perusahaan zombie" sebagaimana diingatkan oleh IMF. Namun, penting untuk diingat bahwa kondisi perekonomian global dan domestik masih dalam tahap pemulihan pasca-pandemi. Banyak pelaku usaha yang sebenarnya memiliki prospek baik namun mengalami kendala sementara akibat guncangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Jika restrukturisasi dihentikan tiba-tiba, bukan hanya "perusahaan zombie" yang akan tereliminasi, tetapi juga perusahaan potensial yang seharusnya bisa bangkit.

Kuncinya adalah pengawasan ketat dan selektif dalam memperpanjang restrukturisasi kredit. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan perbankan perlu bekerja sama untuk memastikan hanya debitor dengan prospek bisnis yang jelas yang mendapatkan perpanjangan. Selain itu, diperlukan kebijakan tambahan seperti pendampingan bagi usaha kecil-menengah (UKM) agar mereka mampu memanfaatkan momentum pemulihan.

Likuiditas: Narasi yang Tidak Sebanding dengan Realitas

Pandangan bahwa likuiditas dalam negeri seret akibat penyerapan dana oleh Surat Berharga Negara (SBN) dan Bank Indonesia (BI) terlalu menyederhanakan masalah. Perlu diingat bahwa selama pandemi, peran pemerintah melalui SBN sangat krusial dalam menjaga kestabilan ekonomi. Bahkan di tengah suku bunga global yang tinggi, Indonesia mampu mempertahankan inflasi yang relatif rendah dibandingkan banyak negara berkembang lainnya.

Likuiditas dalam sistem perbankan sebenarnya masih cukup untuk mendukung sektor riil. Masalahnya lebih pada kurangnya permintaan kredit karena dunia usaha yang masih hati-hati menghadapi ketidakpastian global. Upaya Bank Indonesia melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan relaksasi seperti Loan-to-Value (LTV) menunjukkan adanya langkah konkret untuk merangsang penyaluran kredit. Yang diperlukan sekarang adalah mendorong kepercayaan pelaku usaha untuk kembali berinvestasi.

Utang Publik: Mengelola Risiko, Bukan Membesar-besarkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun