Di suatu malam di Yogyakarta, Sastro duduk di kursi rotan tua di teras rumah anaknya. Angin dingin bulan Desember membawa bau tanah basah, namun pikirannya jauh melayang. Di tangannya tergenggam sepucuk surat yang baru saja ditemukan, terselip di antara buku-buku lawas milik istrinya. Surat itu, meski sudah usang dan hampir tak terbaca, seperti bara yang menghanguskan hatinya.
Surat itu adalah tulisan Sumini, istrinya yang kini berusia 96 tahun. Dalam surat tersebut, ada nama lain yang disebut dengan penuh rasa rindu: "Bramantyo." Surat-surat itu, yang berasal dari tahun 1940-an, berbicara tentang cinta yang pernah tumbuh di hati Sumini untuk pria lain, jauh sebelum perang mereda dan mereka berdua memulai hidup bersama.
Sastro dan Sumini bertemu di tahun 1930-an, saat Sastro masih menjadi seorang komandan militer di daerah Solo. Sumini, gadis muda asal Klaten dengan senyum yang memikat, langsung menarik perhatian Sastro saat pertama kali mereka bertemu di pasar malam. Dengan segala perjuangan dan cinta, Sastro melamar Sumini, dan mereka menikah di tengah gejolak penjajahan.
Bersama, mereka melewati berbagai ujian hidup. Dari masa revolusi hingga merdeka, Sastro dan Sumini membangun keluarga besar, mengasuh anak-anak mereka dengan kerja keras dan doa. Namun, rahasia yang tersimpan dalam surat tua itu seperti menampar semua kenangan indah yang pernah mereka miliki.
Sepuluh tahun yang lalu, Sastro memilih meninggalkan rumah mereka di Yogyakarta dan tinggal bersama salah satu anaknya di Bantul. Bukan karena kebencian, melainkan karena rasa lelah pada pertengkaran kecil yang makin sering terjadi di usia senja mereka. Meski begitu, ia tetap menjaga tali pernikahan. Baginya, Sumini adalah bagian dari hidupnya, hingga surat itu ditemukan.
"Mengapa, Min?" tanya Sastro ketika ia pertama kali menunjukkan surat itu kepada Sumini.
Sumini hanya tertunduk. Wajahnya yang keriput terlihat lebih tua dari biasanya, air matanya menetes membasahi kebaya lusuh yang ia kenakan. "Aku muda, Mas... Aku bodoh, dan Bramantyo hanya pelarian. Setelah menikah denganmu, aku tidak pernah mengingatnya lagi," jawab Sumini dengan suara bergetar.
Namun bagi Sastro, kata-kata itu tidak cukup. Surat-surat itu telah membuka luka yang sulit untuk disembuhkan. Ia tidak hanya merasa dikhianati, tetapi juga kehilangan gambaran Sumini yang selama ini ia simpan di hatinya.
Kini, Sastro mempersiapkan gugatan cerai. Langkahnya mengundang perhatian banyak pihak. Tetangga-tetangga mereka di kampung dan bahkan orang-orang yang tidak mengenalnya mulai membicarakan keputusan ini. Banyak yang mengatakan Sastro terlalu tua untuk memendam amarah seperti ini, sementara yang lain menganggapnya wajar.
Sumini, di sisi lain, mencoba meminta maaf. Berkali-kali ia memohon kepada Sastro untuk membatalkan niatnya. "Mas, kita sudah hidup bersama hampir delapan dekade. Apakah semua ini akan berakhir hanya karena kesalahan masa lalu yang bahkan sudah kulupakan?" isaknya.