Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kota Santuy, Emang Ada? Ada, Gini Konsepnya!

20 Desember 2024   07:48 Diperbarui: 20 Desember 2024   07:48 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan tinggal di kota yang bikin kita merasa hidup beneran: nggak buru-buru ke sana ke mari, nggak stres sama kemacetan, dan selalu ada waktu untuk menikmati secangkir kopi sambil ngobrol sama tetangga. Inilah esensi dari slow living city---sebuah konsep yang mencoba menjawab tantangan urbanisasi modern dengan menawarkan gaya hidup yang lebih santai, harmonis, dan berkelanjutan. Tapi, apakah konsep ini hanya mimpi utopis? Atau justru solusi nyata untuk krisis kota-kota modern?

Awal Mula Konsep Slow Living

Botta (2016) menyebutkan bahwa slow living berakar pada kebutuhan manusia untuk menemukan harmoni di tengah dunia yang makin sibuk. Gaya hidup ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak zaman Yunani kuno, filsuf seperti Epicurus sudah mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan kedamaian hidup. Namun, di era modern, slow living kembali menjadi relevan karena tekanan kapitalisme dan industrialisasi yang membuat orang-orang kehilangan makna hidup mereka.

Beberapa kota, seperti Findhorn di Skotlandia dan Toarps Ekoby di Swedia, telah mencoba menerapkan prinsip ini dalam kehidupan urban. Kota-kota ini menunjukkan bagaimana memperlambat ritme hidup bisa meningkatkan kebahagiaan dan kohesi sosial warganya. Namun, integrasi teknologi modern sering kali menjadi tantangan. Contohnya, Masdar City di Abu Dhabi yang terkenal dengan desain futuristiknya, gagal menciptakan rasa kebersamaan di antara warganya, yang justru menjadi elemen penting dalam slow living city.

Urban Living Labs

Voytenko et al. (2016) memperkenalkan konsep urban living labs, semacam "laboratorium hidup" di mana kota-kota bisa mencoba ide-ide baru dalam skala kecil sebelum diimplementasikan secara luas. Misalnya, menciptakan zona bebas kendaraan di pusat kota untuk mengurangi emisi karbon atau mendirikan komunitas hijau yang mandiri secara energi. Pendekatan ini memungkinkan kota untuk bereksperimen dengan solusi-solusi kreatif tanpa risiko besar.

Lab ini juga mengundang kolaborasi antara pemerintah, warga, dan sektor swasta. Dengan melibatkan banyak pihak, solusi yang dihasilkan menjadi lebih relevan dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Selain itu, urban living labs juga memberi ruang untuk inovasi teknologi yang tetap selaras dengan nilai-nilai keberlanjutan.

Infrastruktur Hijau

Meskipun ide-ide inovatif seperti urban living labs terdengar menarik, kita tetap harus menghadapi kenyataan bahwa banyak kota masih mengandalkan grey infrastructure atau infrastruktur abu-abu, seperti jalan raya dan beton, yang sering kali tidak ramah lingkungan. Menurut Dhakal dan Chevalier (2017), penerapan green infrastructure seperti taman kota, sistem drainase alami, dan atap hijau bisa menjadi langkah konkret untuk mengatasi masalah banjir dan polusi.

Namun, tantangan besar dalam implementasi green infrastructure adalah resistensi dari institusi dan keterbatasan dana. Banyak pihak yang masih skeptis tentang biaya awal yang tinggi, meskipun penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, green infrastructure jauh lebih hemat dan berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang mendukung penerapan teknologi hijau ini, termasuk insentif finansial untuk sektor swasta dan edukasi masyarakat tentang manfaatnya.

Merayakan Hidup Melalui Slow Events

Selain infrastruktur, budaya juga memainkan peran penting dalam menciptakan slow living city. Werner et al. (2021) menyebutkan pentingnya slow events, seperti festival makanan tradisional, pameran seni lokal, atau pasar mingguan, untuk menghidupkan kembali semangat komunitas. Acara-acara ini nggak hanya memperkenalkan budaya lokal ke generasi muda, tapi juga mendukung ekonomi lokal dengan memberi ruang bagi pelaku usaha kecil untuk berkembang.

Misalnya, di kota Bad Essen, Jerman, yang menjadi bagian dari jaringan Cittaslow, slow events seperti festival panen lokal berhasil menarik wisatawan sekaligus memperkuat ikatan sosial warga. Acara semacam ini menunjukkan bahwa kota yang santai bukan berarti kota yang membosankan. Justru, kota-kota ini menawarkan alternatif gaya hidup yang lebih autentik dan bermakna.

Pendidikan dan Kesadaran sebagai Kunci

Sodiq et al. (2019) menegaskan bahwa keberhasilan slow living city tidak hanya bergantung pada infrastruktur atau acara budaya, tetapi juga pada tingkat pendidikan dan kesadaran warganya. Kota yang berkelanjutan harus bisa menciptakan warga yang paham akan pentingnya keberlanjutan dan mau berkontribusi untuk mencapainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun