Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kota Santuy, Emang Ada? Ada, Gini Konsepnya!

20 Desember 2024   07:48 Diperbarui: 20 Desember 2024   07:48 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalnya, dengan memperkenalkan kurikulum keberlanjutan di sekolah-sekolah atau mengadakan program edukasi publik tentang pengelolaan limbah dan penggunaan energi terbarukan. Langkah-langkah kecil seperti ini bisa menciptakan dampak besar dalam jangka panjang, terutama jika dilakukan secara konsisten dan melibatkan semua lapisan masyarakat.

Tantangan dan Harapan

Tentu saja, menerapkan konsep slow living city bukan tanpa tantangan. Selain resistensi institusional dan keterbatasan dana, ada juga masalah mentalitas masyarakat yang sudah terbiasa dengan gaya hidup cepat. Banyak orang masih menganggap bahwa "cepat itu hebat," padahal kenyataannya, kehidupan yang terlalu cepat justru sering kali mengorbankan kesehatan, kebahagiaan, dan bahkan lingkungan.

Namun, harapan tetap ada. Dengan meningkatnya kesadaran global akan krisis lingkungan dan pentingnya kesejahteraan manusia, konsep slow living city semakin relevan. Kota-kota yang berani mengambil langkah menuju keberlanjutan, seperti Amsterdam dengan transportasi bersepeda atau Copenhagen dengan sistem energi terbarukannya, telah membuktikan bahwa hidup santai bukan berarti hidup ketinggalan zaman.

Kesimpulan

Slow living city adalah pengingat bahwa kota bukan hanya tempat untuk bekerja atau berlomba menjadi yang tercepat. Kota adalah ruang untuk hidup, berkembang, dan merayakan kemanusiaan. Dengan mengintegrasikan teknologi hijau, budaya lokal, dan pendidikan berkelanjutan, kita bisa menciptakan kota-kota yang nggak hanya nyaman untuk ditinggali, tapi juga mendukung kesejahteraan planet ini. Jadi, gimana, sudah siap untuk hidup lebih santai di kota yang nggak buru-buru?

Referensi

Botta, M. (2016). Evolution of the slow living concept within the models of sustainable communities. Futures. https://doi.org/10.1016/j.futures.2015.12.004

Dhakal, K. P., & Chevalier, L. R. (2017). Managing urban stormwater for urban sustainability: Barriers and policy solutions for green infrastructure application. Journal of Environmental Management. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2017.07.065

Sodiq, A., et al. (2019). Towards modern sustainable cities: Review of sustainability principles and trends. Journal of Cleaner Production. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.04.106

Voytenko, Y., et al. (2016). Urban living labs for sustainability and low carbon cities in Europe: Towards a research agenda. Journal of Cleaner Production. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2015.08.053

Werner, K., et al. (2021). The role of slow events for sustainable destination development: A conceptual and empirical review. Journal of Sustainable Tourism. https://doi.org/10.1080/09669582.2020.1800021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun