Pemecatan Gibran Rakabuming Raka sebagai kader PDI Perjuangan memang bukan hal mengejutkan, tapi tetap saja jadi sorotan utama publik. Bagaimana tidak? Ini bukan hanya soal Gibran, tapi juga Jokowi dan Bobby Nasution yang ikut-ikutan dicoret dari partai banteng moncong putih. Sebuah drama politik yang rasanya lebih cocok jadi skenario sinetron prime time.
Namun, mari kita zoom in sedikit. Siang itu, di Base Ops Halim Perdanakusuma, Gibran tampil dengan gaya khasnya: kalem, santai, dan "seadanya". Dalam keterangannya, ia menyatakan menghormati keputusan partai dan ingin fokus membantu Presiden Prabowo menjalankan roda pemerintahan. "Tunggu saja," jawabnya ketika ditanya soal langkah politik selanjutnya. Seolah memberi kode, "Drama ini masih panjang, Bung!"
Sekarang, mari kita bedah kasusnya. Gibran, yang maju sebagai calon Wakil Presiden dari partai lain di Pilpres 2024, dianggap melanggar kode etik PDI Perjuangan. Jokowi pun dipecat karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Bahkan Bobby, yang niat maju sebagai calon Gubernur Sumatra Utara, kena semprot juga karena melanggar aturan serupa.
Sebenarnya, ini bukan sekadar cerita tentang pemecatan kader. Ada banyak ironi di baliknya. Pertama, pemecatan ini seakan mempertegas bahwa politik itu memang soal kepentingan. Jangan kaget. Semua pihak tentu punya kepentingan masing-masing. PDI Perjuangan jelas ingin menunjukkan bahwa mereka punya prinsip, tak peduli siapa yang dilawan, bahkan jika itu adalah keluarga presiden yang notabene turut membesarkan nama partai. Ini pesan keras: loyalitas harus di atas segalanya.
Di sisi lain, langkah Gibran maju bersama partai lain untuk posisi Wakil Presiden juga bukan keputusan kecil. Ini langkah politis penuh kalkulasi. Apakah ini soal ambisi kekuasaan? Bisa jadi. Tapi mungkin juga Gibran sedang membuktikan dirinya mampu berdiri sendiri, lepas dari bayang-bayang ayahnya, Jokowi. Karena, suka atau tidak suka, selama ini publik masih sering mengaitkan karier politik Gibran dengan privilese "anak presiden".
Namun yang lebih menarik adalah reaksi Gibran. Tidak ada drama, tidak ada tangisan, tidak ada serangan balik. "Saya hormati keputusan partai," ujarnya. Tanggapan ini sederhana, tapi mengandung dua makna. Pertama, Gibran paham betul bahwa politik adalah permainan jangka panjang. Membalas atau melawan secara frontal mungkin bukan opsi cerdas. Kedua, ia mungkin punya strategi lain yang sedang disiapkan. Dan dengan posisi sebagai Wakil Presiden, langkah politiknya akan selalu jadi perhatian publik.
Yang patut kita soroti adalah bagaimana langkah ini berdampak pada citra politik keluarga Jokowi. Pemecatan ini, bagi sebagian orang, mungkin dilihat sebagai upaya partai untuk menjaga marwah dan kemandirian. Tapi bagi yang lain, ini adalah simbol bahwa hubungan Jokowi dan PDI Perjuangan sudah sampai di titik nadir. Sebuah keretakan yang sulit diperbaiki.
Di sisi lain, ini juga membuka jalan spekulasi baru. Apakah Gibran akan bergabung dengan partai lain? Apakah ada upaya membentuk dinasti politik baru? Mungkin terlalu dini untuk berspekulasi, tapi politik kita memang tak pernah kehabisan plot twist. Dan Gibran, dengan gaya kalemnya itu, seakan memberi isyarat bahwa perjalanan politiknya masih panjang.
Bagi kita, rakyat biasa yang sering jadi penonton setia drama politik, kasus ini mengingatkan satu hal: tidak ada yang abadi dalam politik. Hari ini kawan, besok bisa jadi lawan. Hari ini dipecat, siapa tahu besok justru tampil lebih kuat.
Lalu, bagaimana dengan PDI Perjuangan? Keputusan pemecatan ini mungkin membuat partai terlihat tegas dan disiplin. Tapi pertanyaannya, apakah langkah ini akan berbuah manis di mata rakyat? Atau justru menciptakan sentimen negatif? Politik itu seni mengelola persepsi, dan persepsi publik kerap kali sulit ditebak.
Akhirnya, kita tinggal tunggu langkah berikutnya. Akankah Gibran membuat kejutan politik baru? Akankah ini menjadi babak awal dari perpecahan yang lebih besar? Yang jelas, politik kita belum kehilangan dramanya. Dan seperti kata Gibran: "Tunggu saja." Kita pun akan tetap menunggu, sambil menyeruput kopi dan menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa rumitnya permainan politik di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H