Lebih dalam lagi, fenomena ini dapat dianalisis dari sudut pandang sosiologi bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga instrumen kekuasaan dan kontrol sosial. Michel Foucault pernah mengungkapkan bagaimana wacana (discourse) membentuk realitas dan mengatur perilaku sosial. Dalam kasus kaum Puritan, pengendalian bahasa menjadi salah satu cara untuk menjaga tatanan moral dan budaya yang mereka anut.
Namun, kontrol ini sering kali menciptakan ironi. Ketika bahasa dikendalikan secara berlebihan, justru muncul pemaknaan baru yang lebih menyimpang dari tujuan awalnya. Dalam komik ini, istilah "paha" dan "dada", yang seharusnya netral, menjadi sesuatu yang dianggap vulgar. Akibatnya, terjadi kontradiksi antara niat menjaga moralitas dengan dampak yang dihasilkan, yaitu mengaburkan makna sebenarnya.
Kritik terhadap Konservatisme Berlebihan
Konservatisme berlebihan dalam menyikapi bahasa dan simbol tidak hanya membatasi kebebasan berpikir, tetapi juga menghambat perkembangan budaya. Kebebasan berekspresi melalui bahasa adalah salah satu fondasi penting dalam masyarakat yang inklusif dan demokratis. Jika suatu kelompok terus memaksakan interpretasi moral yang sempit, maka bahasa akan kehilangan fungsinya sebagai sarana komunikasi yang efektif.
Kartun ini secara halus mengingatkan kita bahwa moralitas tidak boleh berhenti pada simbol atau bahasa semata. Fokus pada substansi tindakan dan niat adalah hal yang lebih esensial. Dengan kata lain, pengendalian moral tidak boleh mengorbankan kebebasan individu dalam menggunakan bahasa.
***
Kartun "Puritan Only Ordered Wings and Drumsticks" bukan sekadar lelucon ringan, melainkan sindiran tajam terhadap konservatisme yang semu dalam masyarakat. Melalui analisis sosiolinguistik, kita dapat melihat bagaimana bahasa, simbol, dan moralitas saling berkelindan dalam menciptakan realitas sosial. Bahasa yang netral dapat berubah menjadi sesuatu yang tabu atau vulgar ketika dimaknai secara berlebihan oleh kelompok tertentu.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memandang bahasa dan simbol dengan lebih bijaksana. Moralitas seharusnya tidak hanya berfokus pada simbol atau permukaan, melainkan pada substansi yang lebih mendalam. Sebagai masyarakat yang terus berkembang, kita dituntut untuk lebih reflektif dalam memahami bahasa dan lebih inklusif dalam menyikapi perbedaan interpretasi budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H