Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gender Bukan Sekadar Isu Kesetaraan

13 Desember 2024   13:17 Diperbarui: 15 Desember 2024   07:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam wacana gender yang berkembang pesat di Indonesia, ada satu narasi yang begitu dominan: perjuangan kesetaraan untuk wanita. Gerakan ini, yang lahir dari sejarah panjang diskriminasi terhadap wanita, memang telah membawa banyak kemajuan. Perempuan kini memiliki hak memilih, bekerja, dan mengakses pendidikan yang setara dengan pria. Namun, apakah kita benar-benar telah memahami inti dari isu gender? Apakah perjuangan gender hanya tentang membela wanita? Kenyataannya, isu gender jauh lebih kompleks, dan ada realitas yang sering terabaikan: pria juga menjadi korban dalam sistem yang bias ini.

Kesetaraan yang Salah Kaprah

Kesalahan terbesar dalam narasi gender adalah anggapan bahwa kesetaraan hanya soal "menaikkan" posisi wanita agar sejajar dengan pria. Akibatnya, fokus perjuangan gender sering kali berat sebelah, mengabaikan fakta bahwa pria juga menghadapi berbagai tekanan dan ketidakadilan. Contohnya, banyak pria yang kini merasa "terjajah" oleh dominasi wanita, baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun sosial. Narasi ini menciptakan ketidakseimbangan baru yang merugikan kedua belah pihak.

Di tempat kerja, misalnya, dominasi wanita pada sektor tertentu sering membuat pria kehilangan ruang untuk berkompetisi secara sehat. Di rumah tangga, ada pria yang merasa tertekan oleh pasangan yang mengambil alih peran tradisional sebagai kepala keluarga. Alih-alih menciptakan keadilan, kesetaraan yang diadvokasi tanpa memahami konteks justru berujung pada ketidakadilan baru.

Krisis Maskulinitas

Salah satu dampak nyata dari ketidakseimbangan gender adalah krisis maskulinitas. Dalam masyarakat kita, pria masih dibebani oleh ekspektasi untuk menjadi kuat, tegas, dan dominan. Mereka diajarkan sejak kecil bahwa menangis adalah tanda kelemahan, bahwa mereka harus menjadi tulang punggung keluarga, dan bahwa keberhasilan mereka diukur dari seberapa besar mereka "mengontrol" dunia di sekitar mereka.

Namun, dunia telah berubah. Banyak pria kini menghadapi situasi di mana mereka kehilangan peran tradisionalnya. Wanita yang semakin independen dan mendominasi ruang-ruang sosial membuat pria terjebak dalam kebingungan: jika mereka tetap mempertahankan peran tradisional, mereka dianggap kuno; jika mereka melepasnya, mereka kehilangan identitas. Ini bukan soal kompetisi antara pria dan wanita, tetapi soal kegagalan kita sebagai masyarakat untuk menawarkan definisi gender yang lebih inklusif dan adaptif.

Kekerasan Terhadap Pria: Fakta yang Diabaikan

Berbicara tentang kekerasan berbasis gender, kita sering kali hanya memikirkan wanita sebagai korban. Padahal, pria juga mengalami kekerasan, baik fisik, psikologis, maupun ekonomi. Namun, karena stigma sosial, kasus kekerasan terhadap pria sering kali tidak dilaporkan. Pria yang mengalami kekerasan domestik, misalnya, cenderung bungkam karena takut dianggap lemah atau dihina.

Selain itu, sistem hukum kita pun belum sepenuhnya inklusif. Banyak pria yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang sama ketika mereka menjadi korban kekerasan. Ironisnya, dalam perjuangan gender yang begitu lantang, penderitaan pria masih dipandang sebelah mata.

Wacana Gender yang Lebih Holistik

Sudah saatnya kita mereformasi cara kita memandang gender. Gender bukan hanya soal kesetaraan, tetapi juga soal keadilan dan keseimbangan. Wanita memang masih membutuhkan dukungan dalam banyak hal, tetapi pria juga harus dilibatkan dalam percakapan ini. Sebuah wacana gender yang holistik harus mencakup:

1. Edukasi yang Seimbang: Pendidikan tentang gender harus mencakup isu yang dihadapi pria, seperti maskulinitas toksik, tekanan sosial, dan kekerasan berbasis gender yang menargetkan mereka.

2. Advokasi untuk Semua: Kebijakan yang dihasilkan dari wacana gender harus inklusif, memastikan bahwa pria dan wanita sama-sama terlindungi dari diskriminasi dan kekerasan.

3. Dekonstruksi Peran Gender: Kita perlu mendekonstruksi peran tradisional pria dan wanita, memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menjalani hidup sesuai dengan potensinya tanpa terkekang oleh ekspektasi sosial.

4. Penguatan Data dan Penelitian: Banyak persoalan gender yang dialami pria masih kurang didukung oleh data. Penelitian yang lebih mendalam akan membantu membongkar bias dan menawarkan solusi berbasis bukti.

***

Dalam perjuangan gender, kita tidak bisa hanya mendengar satu suara. Kita harus mendengar cerita pria yang terpinggirkan, yang kehilangan ruangnya dalam keluarga dan masyarakat, yang merasa tertekan oleh peran maskulin yang kaku, atau yang menjadi korban kekerasan tetapi tidak punya tempat mengadu. Kesetaraan yang sesungguhnya adalah ketika pria dan wanita sama-sama memiliki ruang untuk hidup dan berkembang tanpa takut akan stigma atau diskriminasi.

Perjuangan gender harus melibatkan semua pihak, karena gender adalah tentang kita semua. Jika tidak, kita hanya akan mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan yang lain. Dan itu, jelas, bukan tujuan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun