Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menunda Menikah, Pilihan atau Tuntutan Zaman?

6 November 2024   18:29 Diperbarui: 9 November 2024   12:38 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Keluarga | Freepik/sewcream

Hal ini mencerminkan adanya perubahan mendasar dalam nilai-nilai tradisional. Dalam pandangan budaya tradisional Indonesia, menikah adalah simbol kedewasaan dan status sosial yang penting. Namun, dalam konteks sosial saat ini, kedewasaan dan pencapaian tidak lagi harus diukur dari status pernikahan.

Masa Depan Pernikahan di Indonesia

Fenomena ini memicu diskusi lebih lanjut: apakah menurunnya angka pernikahan akan mengubah pola kependudukan Indonesia di masa depan? Beberapa ahli khawatir penurunan angka pernikahan ini akan berdampak pada angka kelahiran yang rendah, yang pada gilirannya bisa mempengaruhi struktur usia penduduk di masa depan.

Di sisi lain, para pendukung kemandirian perempuan dan hak individu menganggap tren ini sebagai langkah positif, yang mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia mulai bergerak ke arah yang lebih progresif dalam hal kebebasan memilih dan menghargai individualitas. Mereka melihat tren ini sebagai kemajuan yang mencerminkan perubahan nilai-nilai lama menuju kesetaraan dan kemandirian.

Dalam pandangan penulis, penurunan angka pernikahan bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan sepenuhnya. Sebaliknya, ini adalah cerminan dari kemajuan sosial dan ekonomi yang memungkinkan anak muda untuk memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya. Apakah ini berarti pernikahan akan menjadi institusi yang kian terlupakan? Mungkin tidak. Namun, yang jelas, pernikahan kini menjadi pilihan yang lebih sadar, bukan lagi sekadar kewajiban.

Fenomena ini juga menuntut perubahan dari masyarakat dan keluarga besar untuk lebih menghargai pilihan-pilihan hidup generasi muda, termasuk jika mereka memilih jalur hidup yang berbeda dari norma-norma yang selama ini dianut.

Catatan:
Sarah, Dina, dan Alfin pada artikel ini adalah tokoh-tokoh fiktif yang dibuat penulis hanya untuk memudahkan dalam mengilustrasikan narasi pada paragraf yang dibangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun